Tidak perlu disangkal bahwa kemampuan membaca akan semakin baik dengan membiasakan membaca. Orang-orang yang ‘gila’ membaca melakukannya dengan berdasarkan intuisi. Sebagaimana halnya peribahasa ‘practice makes perfect,’  kemampuan membaca perlu diasah dengan berlatih membaca secara rutin. Program Sustained Silent Reading (SSR), atau Membaca Senyap Berkelanjutan juga berjalan atas dasar common sense yang sama.

Pertanyaannya, bagaimana SSR diterapkan dalam kegiatan di kelas? Untuk itu kita perlu mencari tahu apa dasar pelaksanaan SSR, dan bagaimana kata ‘berkelanjutan’ itu dimaknai dalam tataran teknis.

SSR pada dasarnya bukan barang baru (di pendidikan di luar negeri). Sejak tahun 1950-60 an, Amerika Serikat sudah menjalankannya. Berbagai istilah digunakan untuk mengacu pada program literasi ini, misalnya saja Free Voluntary Reading (FRV), Self-Selected Reading, Sustained Silent Reading (SSR), Drop Everything and Read (DEAR), dan banyak lagi istilah lain. Program-program itu pastinya memiliki perbedaan dalam pelaksanaannya, namun pada dasarnya memiliki tujuan yang sama, yakni untuk mengembangkan kemampuan tiap siswa dalam membaca senyap tanpa jeda dalam jangka waktu tertentu.

Ada 6 (enam) prinsip yang berlaku dalam menjalankan program SSR, antara lain:

  1. siswa memilih materi bacaan sendiri
  2. guru menjadi contoh dengan ikut membaca senyap pada saat yang sama
  3. siswa memilih satu buku, majalah, atau surat kabar untuk dibaca dalam jangka waktu tertentu
  4. timer (penanda waktu) dipasang untuk jangka waktu yang disepakati (15 menit, 20 menit, 30 menit)
  5. tidak ada laporan atau tagihan yang diminta dari siswa
  6. seluruh kelas, sekolah, atau jurusan menjadi bagian dari SSR

Bila kita lihat enam panduan di atas, saya yakin banyak guru yang mempertanyakan point no. 5. Pertanyaan yang sering saya peroleh dari teman guru adalah, “bagaimana mengukur peningkatan kemampuan membaca siswa bila tidak ada tugas atau tagihannya?” Perlu dipahami bahwa SSR berbeda dengan program literasi lain seperti yang disebutkan di atas. SSR bukanlah kegiatan kelas untuk memberikan asesmen pada siswa. Tujuannya murni untuk memberikan kesempatan pada siswa menikmati waktu membaca buku apapun yang mereka sukai tanpa embel-embel nilai dari guru. Itulah sebabnya bentuk tagihan seperti membuat ringkasan atau reviu buku, kuis, dan latihan soal pemahaman wacana dihindari demi ‘kenikmatan’ membaca. Yang lebih penting lagi, guru juga ikut membaca pada saat yang sama. Sekarang mari kita bayangkan bagaimana SSR ini terjadi di kelas Anda.

Bel berbunyi. Anda masuk kelas, dan mengajak siswa berdoa bersama untuk memulai aktivitas sekolah pada hari itu. Semenit kemudian Anda menyilahkan siswa untuk mengeluarkan buku bacaan yang sudah mereka siapkan dari rumah. Buku pilihan masing-masing, baik dari koleksi sendiri maupun hasil meminjam dari perpustakaan. Dengan tanpa keributan siswa mulai membaca buku masing-masing. Ada sebagian siswa yang lupa membawa bukunya. Maka ada minta mereka memilih satu buku dari rak buku yang tersedia di kelas. Tidak sampai 5 menit kemudian, semua siswa sudah mulai membaca. SSR telah dimulai. Andapun mulai membaca buku kesukaan Anda sendiri. Sesekali Anda melirik dan memperhatikan berbagai mimik muka siswa. Ada yang cekikikan lirih karena buku humor yang dia baca. Ada yang kelihatan ingin menangis. Mungkin dia sedang membaca novel dramatis. Ada juga siswa yang mencoba mengajak ngobrol teman sebelahnya. Namun teman di depannya memberi tanda, ‘ssst’….         15 menit kemudian timer berbunyi. SSR usai untuk hari ini. Terdengar protes di sana-sini. “Yah..lagi seru-serunya.” Namun Anda segera meminta siswa untuk menyimpan bukunya kembali, seraya mengatakan, ‘besok kita lanjutkan kembali. Sekarang kita mulai pelajaran hari ini.”

Begitulah kira-kira kegiatan sekolah dimulai di kelas-kelas yang melaksanakan SSR. Di sekolah yang menerapkan SSR secara keseluruhan, bahkan semua kelas, guru, Kepala Sekolah, dan staf administrasi ikut membaca selama 15 menit setiap hari. Begitu waktu SSR berakhir, semua memulai aktivitasnya di hari itu.

Menilik gambaran teknisnya yang sesederhana (dan praktis tanpa biaya besar) itu, barangkali kita semua yakin SSR mestinya juga bisa dilakukan di sekolah-sekolah di tanah air. Namun tantangan terbesarnya justru ada pada komitmen guru dan sekolah. Mengembangkan situasi yang optimal di mana semua siswa memiliki akses terhadap buku yang ingin mereka baca dan menyediakan lingkungan yang kondusif tidak bisa terjadi dalam sekejap mata. Diperlukan perencaaan yang nyata dan komitmen tinggi dari para orang dewasa yang terlibat dalam program ini. Bila kita ingin siswa terbiasa membaca secara rutin, mau tidak mau guru dan semua pihak sekolah harus memberikan contoh nyata. Jangan sampai terjadi di mana siswa membaca, sementara gurunya menggunakan waktu SSR untuk koreksi tugas siswa, buka laptop (atau bahkan utak-utik telpon genggam).

Masih tidak yakin siswa bisa disuruh membaca secara rutin bila tidak diberi tugas? Mari kita lihat beberapa hasil penelitian tentang keberhasilan SSR. Warwick Elley melakukan penelitian longitudinal di kepulauan Fiji dan Singapore. Selama 2-3 tahun, Elley mengamati proses perkembangan kemampuan membaca siswa yang belajar Bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Mereka dibagi dalam 3 kelompok. Satu kelompok diajar dengan menggunakan Audio-Lingual Method (ALM), metode pembelajaran Bahasa asing yang menggunakan berbagai macam aktivitas skill-building melalui grammar exercises dan koreksi bahasa. Kelompok kedua melakukan SSR, dan membaca untuk kesenangan selama 30 menit/hari, dengan disediakan akses ke berbagai macam buku, dorongan untuk terus membaca dari guru, waktu membaca yang berkala, dan tanpa tagihan tugas. Kelompok ketiga melakukan ‘shared reading,’ di mana guru membacakan buku kepada siswa, dan lambat laun siswa ikut membaca, serta diikuti dengan diskusi tentang buku-buku yang sudah dibaca dengan siswa.

Dalam jangka waktu 2-3 tahun, hasil penelitiannya menakjubkan. Di Fiji, setelah 2 tahun penelitian dilakukan di tahun 1983, siswa dari kelompok membaca (SSR dan shared reading) menunjukkan kemampuan pemahaman membaca dua kali lipat dibandingkan siswa dari kelompok ALM.  Selain itu, mereka juga menunjukkan kemampuan yang lebih baik dalam tes grammar, word recognition, writing, dan vocabulary.  Di Singapore, di mana Elley mengulangi penelitiannya pada tahun 1991, siswa dari kelompok reading yang dipaparkan dengan berbagai jenis buku dan pengalaman membaca jelas sekali menunjukkan kemampuan bahasa dalam berbagai tes Bahasa Inggris.

Pada tahun 1999, Elley meneliti efek pengenalan buku-buku di kelas di setting Sri Lanka dan Afrika Barat. Kedua negara ini dianggap minim dalam hal akses siswa terhadap buku. Hasil yang diperoleh sama-sama dramatis. Kelompok siswa yang dipaparkan pada kegiatan membaca rutin (kelompok Read) menunjukkan kemampuan pemahaman membaca yang jauh lebih tinggi daripada siswa dari kelompok Non-Read.

Masih ratusan (bahkan ribuan) hasil penelitian tentang pengaruh program berbasis free-reading yang mengungkapkan hal yang sama. Bagaimana dengan pendidikan di tanah air? Mudah-mudahan tidak ada yang bilang, ‘ini Indonesia, bu. Yang berhasil di negara lain belum tentu berhasil di negara kita.’ Kita tidak perlu menunggu ada hasil penelitian senada di Indonesia untuk segera memulainya.

Kita hanya butuh komitmen tinggi untuk menjalankannya. Ayo kita mulai gerakan Sustained Silent Reading di sekolah atau keluarga kita masing-masing.

Tunggu tulisan berikutnya, di mana saya akan membahas bagaimana mendisain program SSR.

Referensi:

Pilgreen, Janice L. (2000). The SSR Handbook: How to Organize and Manage a Sustained Silent Reading Program. Portsmouth, NH: Boynton/Cook Publishers.