Minggu pagi yang lalu, saya iseng mengecek email di sela-sela acara bersih-bersih rumah. Eh, ada email dari pak Hartono, sekretaris Prodi Bahasa dan Sastra  Pasca Sarjana Unesa. Tertulis di subject: Jadwal Pasca. Hmm, saya berpikir, apakah semester ini saya diplot mengajar di pasca ya?

Dua semester sebelumnya, nama saya sudah sempat masuk di jadwal S2 Unesa, tapi kemudian tidak jadi. Yang pertama karena saya yang menolak. Belum resmi menyandang Ph.D, apalagi masih proses menunggu hasil penilaian tesis dari para penguji. Rasanya kurang pas kalau tawaran itu saya terima. Semester berikutnya, yakni awal tahun ini, nama saya muncul lagi. Kali ini saya lebih sreg. Status sudah resmi lulus S3, hehe. Tapi kemudian ternyata jadwal saya dibatalkan. Mata kuliah yang sedianya saya ampu adalah non kredit, dan ternyata ada aturan tak tertulis bahwa yang mengampu matkul non kredit ini juga terjadwal di matkul berkredit.

Saya buka file yang dilampirkan pak Hartono. Hati saya seperti melompat membaca nama mata kuliah yang akan saya ampu. Literacy in Education. Horee, akhirnya Literasi resmi menjadi bahan kajian yang terwakili dalam 1 mata kuliah tersendiri. Ada 2 kelas S2 angkatan 2016/2017 yang akan mendapatkan mata kuliah ini di konsentrasi Bahasa dan Sastra Inggris. Setelah saya amati lebih detil, ternyata mata kuliah dengan nama Indonesianya, Literasi dalam Pendidikan juga ditawarkan di konsentrasi Bahasa dan Sastra Indonesia. Pak Hartono sendiri yang akan mengampunya. Sementara itu di konsentrasi Bahasa Asing, pak Bandi, Wakil Dekan I FBS dipasang sebagai dosen pengampunya.

Keputusan menawarkan mata kuliah Literasi, tidak hanya sebagai bahan kajian yang diselipkan di mata kuliah lain, bagi saya adalah keputusan besar dan strategis. Sudah saatnya Unesa melakukannya. Dalam hal membangun portofolio, Unesa sudah punya deretan kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang bernuansa literasi dan yang dengan jelas membawa bendera literasi. Portofolio ini sudah dibangun selama kurang lebih 4-5 tahun terakhir. Para pionir dan penggeraknya tidak hanya dari kalangan akademisi di lingkungan kampus Unesa. Para alumni Unesa punya peranan besar dalam membangun citra Unesa sebagai kampus berbasis literasi.

Kalau mau napak tilas, setidaknya ada beberapa kegiatan dengan bendera literasi di mana saya ikut menjadi bagian kecilnya. Yang layak saya sebut antara lain kumpulan alumni Unesa yang tergabung dalam mailing list Keluarga Unesa. Para anggotanya cukup intensif berinteraksi di dunia maya sejak sekitar tahun 2010. Hasil obrolan dan perdebatan tentang berbagai topik, terutama literasi, kemudian menghasilkan buku. Sampai saat ini setidaknya ada 4 buku antologi yang kami hasilkan. Salah satu yang menurut saya dahsyat adalah Boom Literasi (2014). Buku ini menjadi tonggak tekad kami untuk secara sadar mengangkat literasi sebagai salah satu perhatian utama para alumni.

Kiprah para alumni secara individu juga semakin jelas di masyarakat. Ada mas Satria Dharma yang baru saja dinobatkan sebagai inisiator program Literasi di kota Surabaya. Mbak Sirikit Syah sudah malang melintang lewat Literasi (Melek) Media dan Sirikit School of Writing (SSW), sekolah menulisnya. Sahabat-sahabat saya sesama akademisi seperti Prof. Luthfiyah (a.k.a. Ella) dan pak Khoiri selalu menjadi teladan dalam banyak hal, utamanya produktivitas menulis. Pengalaman teman-teman alumni yang menjadi guru seperti Icha dan Ida memperkaya catatan literasi saya. Teman-teman yang berkiprah di dunia jurnalisme dan kepenulisan tidak kalah hebatnya. Ada mas Eko Pras, mas Eko Pamuji, mas Hartoko, mas Rohman, Agung Putu, mas Basir. Ah, saya jadi kangen sahabat saya, Rukin, yang sudah mendahului kami menghadap Yang Kuasa. Kalau saja dia masih ada di antara kita, insya Allah dia akan senang sekali dengan perkembangan literasi sekarang ini.

Selama kurun waktu tahun 2012- pertengahan 2015, ketika teman-teman saya terjun langsung merintis ‘gerakan’ literasi, saya hanya puas membaca reportase mereka di milis. Saya sendiri menikmati dunia literasi melalui pergulatan saya sebagai mahasiswa S3 di the University of Melbourne saat itu. Meneliti praktik literasi para buruh migran Indonesia di Hong Kong membawa saya ke dunia baru yang ternyata amat beririsan dengan dunia sastra dan linguistik yang sudah lebih dulu saya kenal. Jadilah saya menekuni pendekatan literasi dengan paradigma baru yang cukup berbeda dengan pendekatan literasi a la genre-based approach yang sudah lebih dulu saya kenal di dunia pembelajaran Bahasa Inggris. Selain itu, pengalaman saya sebagai ibu dari dua anak yang terpapar pada praktik literasi di dunia persekolahan di Australia juga banyak mewarnai perjalanan literasi saya. Banyak di antara pengalaman itu saya tuliskan di blog ini.

Secara akademis, sepak terjang Unesa di bidang literasi sudah cukup kuat. Ketika saya masih menikmati hidup sebagai mahasiswa di negeri seberang, teman-teman saya di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia sudah rutin menggelar Seminar Literasi. Kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang mereka lakukan juga kental sekali warna literasinya. Belum lagi kiprah PPG melalui mahasiswa SM3T. Tiap tahun pengalaman mahasiswa SM3-T mengajar di daerah 3T dibukukan dan menjadi sumber inspirasi banyak orang. Ketika mereka menjadi mahasiswa PPG, kelas literasi juga menjadi bagian dari jadwal kuliah mereka. Saya juga harus menyebut teman-teman saya di FMIPA yang sudah menggarap literasi sains secara intens. Kerja keras teman-teman ini kemudian menjadi benih subur yang mendorong didirikannya Pusat Literasi Unesa pada paruh kedua tahun 2015. PLU yang masih merangkak ini berupaya memperkokoh kontribusi Unesa dalam mengaji dan mengembangkan kajian literasi dalam konteks sekolah, keluarga, dan komunitas.

Jadi itulah mengapa saya seperti anak kecil dapat hadiah mainan baru ketika diminta mengampu mata kuliah Literacy in Education. Buku-buku dan artikel yang selama ini terkumpul dan saya nikmati sendiri akhirnya akan memperoleh sahabat baru. Para mahasiswa S2 angkatan baru. Teman diskusi baru. Hari Senin yang lalu, di hari pertama perkuliahan pasca sarjana, saya sudah memulai perkuliahan. Bertemu dengan wajah-wajah muda nan cerdas seakan menjadi dorongan kuat bagi saya untuk memberikan yang terbaik. Saya juga siap belajar dari mereka. Para pemuda pemudi cemerlang ini pastilah punya perjalanan literasi yang layak diceritakan dan didiskusikan.

Entah kenapa, kalau mengajar mata kuliah apapun, saya tidak bisa menyembunyikan antusiasme saya. Dampaknya memang kadang jadi lupa waktu. Tidak berhenti bila tidak diingatkan mahasiswa. Mungkin karena saya cenderung punya agenda tersembunyi. Memasukkan ide-ide tertentu (yang baik pastinya) atau menyemangati mahasiswa untuk mengeluarkan potensi terbaik mereka. Mudah-mudahan mahasiswa juga membacanya seperti itu (dan bukannya geleng-geleng kepala melihat dosennya terlalu bergairah). Antusiasme sejenis menghangatkan tubuh saya saat mulai mengajar kelas Literasi Senin lalu.

Di kelas Literasi ini, saya menaruh harapan besar kepada para mahasiswa. Karena ini mata kuliah baru, bidang kajian baru dengan pendekatan baru, tentunya saya dan para mahasiswa harus sama-sama belajar. Mereka lulus S1 dari berbagai universitas dengan disiplin yang bervariasi-Literature, Applied Linguistics, dan English Education. Saya sengaja memilih New Literacy Studies sebagai pendekatan karena sifatnya yang interdisipliner dan menekankan pada literasi sebagai praktik sosial. Pendekatan ini akan membuka kemungkinan berbagai disiplin untuk ikut berperan dan memberikan warna. Sastra, Linguistik Terapan, dan Pembelajaran Bahasa Inggris sama-sama punya kepentingan dalam hal literasi.

Literasi sudah mulai menjadi istilah yang seksi. Setidaknya, sekelumit pengetahuan dan pengalaman saya menjadi bagian dari satgas Gerakan Literasi Sekolah (GLS) Kemdikbud akan banyak bercerita tentang dinamika literasi di berbagai daerah Saya banyak belajar dari senior saya, Prof. Kisyani, yang menggaet saya masuk dalam lingkaran GLS. Para sahabat sesama anggota satgas GLS juga akan selalu menjadi jujugan tempat saya bertanya.

Banyaknya aktivis dan praktisi yang menggeluti dunia literasi sekarang ini adalah ladang subur untuk dikaji dan ditulis secara ilmiah. Ada banyak data dan informan yang siap digali dan dieksplorasi. Sementara itu, sebagai sebuah kajian, literasi masih belum banyak dikembangkan. Di sisi lain, masyarakat luas dan dunia internasional perlu tahu kiprah bangsa kita. Oleh karena itu saya ingin mengajak mahasiswa saya untuk mendokumentasikan, mencermati, menganalisis, dan menginterpretasi berbagai praktik literasi di sekolah, keluarga, dan masyarakat. Mudah-mudahan  ide-ide baru dan cemerlang dapat dihasilkan dari tangan-tangan mereka. Ketika ilmu bermuatan semangat perubahan, bukankah kebermanfaatannya dapat diharapkan? Semoga.

Kebraon, 6 September 2016, 23.00