Jaman sekarang rasanya semakin susah memisahkan anak dari penggunaan gadget. Jangankan anak-anak, kita sendiri saja praktis terpapar teknologi informasi di setiap menit. Mau meminta anak untuk berhenti bermain iPad berarti bahwa orang-tua juga meninggalkan laptop atau hapenya pada saat yang sama.

Saya termasuk agak cerewet dengan pemberian batasan screen time buat Adzra. Terutama bila di hari-hari sekolah. Berbagai metode saya lakukan, mulai tidak memperbolehkan dia pegang iPad atau Tab ayahnya sampai memberlakukan tagihan bila dia meminta ijin pakai iPad. “Please, please, sebentar saja,” begitu rayunya. Dan kata sebentar saja bisa molor bila tidak diingatkan. Tagihan yang saya minta bisa seperti ini. 1 jam pakai gadget, berarti 1 jam membaca, atau 1/2 jam menulis. Hehe, maklum ibunya provokator literasi. Anaknya juga tidak boleh lepas dari kegiatan literasi tiap hari.

Cara tagihan ini biasanya cukup manjur. Kadang Adzra merasa sudah cukup lama main Minecraft atau lihat video di Youtube (dia suka mencari video naratif anak-anak yang bercerita tentang kehidupan sehari-hari). Setelah itu, tanpa disuruh, dia akan cari buku ceritanya dan sekejap kemudian tenggelam dalam imajinasi cerita.

Meski begitu, saya sebenarnya agak galau bila Adzra hanya melakukan kegiatan ‘pasif’ dengan gadget. Saya harus mencari cara agar gadget dapat dimanfaatkan secara lebih kreatif. Saya amati Adzra suka sekali merekam suaranya di Musical.ly atau membuat video pendek tentang cara membuat slime atau prakarya. Sejak masih di Melbourne dulu, iPad praktis penuh dengan rekaman video tentang kegiatan crafting yang dia buat sendiri. Selain itu, Adzra juga suka oret-oret komik, yang dia gambar di kertas HVS dan dia jepret menjadi sebuah buku kecil. Dia memang suka dengan komik KKPK. Boleh jadi kemampuan menulisnya dalam bahasa Indonesia menjadi lebih lancar karenanya. Dia punya daftar sekitar 10an judul komik yang ingin dia tulis, dan sekitar 5 judul sudah dicentang. Artinya komiknya sudah jadi. Komik sederhana saja, cuma sekitar 4-5 halaman, tapi ada plotnya.

Mengamati kegemarannya, saya mencari aplikasi yang bisa dipakai untuk membuat cerita. Maka ketemulah Toontastic. Aplikasi ini gratis di App Store, sehingga saya tinggal install saja. Ada banyak aplikasi dan website yang lain untuk membuat cerita secara digital. Dalam bahasa pembelajaran, Toontastic adalah aplikasi untuk digital storytelling. Aplikasi ini pas untuk anak-anak usia di bawah 10 tahun.

toontastic

Dari hasil review saya, fitur-fitur Toontastic memang bagus sekali. Anak dapat memilih sendiri tokoh dan latar cerita. Tinggal mix and match. Suara juga bisa direkam dengan mengaktifkan fitur microphone. Hebatnya lagi, fitur elemen cerita-set up, conflict, climax, dan resolution juga ada. Dengan fitur-fitur ini, anak akan paham struktur teks dan mampu memproduksi teks sendiri.

Adzra girang sekali ketika mengetahui bahwa saya sedang menginstall Toontastic. “Thank you, thank you, bu,” ujarnya sambil memeluk lengan saya. “Aku tahu, aku tahu, dulu aku pernah buat kayak gini dengan Khalila,” tambahnya seraya mengingat-ingat satu aplikasi digital storytelling yang pernah dia gunakan dengan temannya di Melbourne dulu.

Saya tidak harus mengajari Adzra cara menggunakan Toontastic. Anak sekarang memang digital natives. Dia sudah tahu bagaimana bernavigasi dengan aplikasi baru ini. Jari-jarinya lincah memilih-milih karakter dan setting cerita. Dia klik icon tiap tahap/elemen cerita, dan terdengarlah penjelasan fungsi elemen-elemen tersebut.

Tidak sampai lama, terdengar suara Adzra menjadi narator yang dia rekam setelah memencet ‘Start.’ Jari telunjuknya menggerak-gerakkan kartun sejalan dengan cerita yang dia buat. Cerita tentang seorang cameraman sedang shooting dengan tokoh robotpun mengalir dalam Bahasa Inggris. Beberapa kali Adzra mengulang perekaman, dan dia lakukan perubahan plot di sana-sini. Kisah robot shooting dengan elemen lengkap terangkaipun menjadi video berdurasi 2 menit. Sambil tertawa Adzra memamerkan film kartunnya, lengkap dengan judul dan nama sutradaranya (Directed by Novandra).

Sejenak kemudian dia terdengar melakukan perekaman lagi. Kali ini dia membuat narasi dalam Bahasa Indonesia. Sebuah group band sedang pentas, dan penyanyinya  melantunkan lagu nasional ‘Hari Merdeka.’ Suara Adzra lantang melagukan ‘Tujuh Belas Agustus tahun Empat Lima…’ Lagu belum selesai, penyanyinya pingsan, dan datanglah ambulance. Nging…ngeng…nging…ngeng.

Menilik kembali teori literasi sebagai praktik sosial, ternyata pengalaman malam minggu ini merupakan literacy event yang menarik dieksplorasi lebih jauh. Bahasa dan kisah yang Adzra buat juga mencerminkan nilai, pengalaman, dan perasaannya yang membentuk identitasnya sebagai anak yang bilingual, suka menyanyi, dan merekam apa saja yang dia lakukan lewat video. Buktinya, dia membuat video tentang tokoh cameraman. Bila mau diteliti lebih lanjut, tema literasi digital dan identitas sudah siap dikembangkan. Saya tidak terlalu mendalami teknik-teknik pembelajaran untuk kegiatan penelitian saya, namun mengamati proses produksi teks digital ini membuka kemungkinan penerapan metode narrative inquiry.

Saya yakin cara yang sama dapat diterapkan oleh para guru di sekolah, terutama di daerah perkotaan di mana siswanya sudah akrab dengan teknologi informasi. Siswa yang lebih dewasa (SMP dan SMA) dapat diajak membuat cerita digital dengan aplikasi yang lebih kompleks. Bagi saya, inti dari digital storytelling adalah agar strategi literasi dapat disesuaikan dengan karakteristik anak sekarang yang lebih tertarik dengan penggunaan teknologi informasi dalam belajar apapun.

Ada yang tertarik melakukannya di kelas/rumah dengan siswa atau anak Anda?