Ketika satu artikel saya akhirnya berhasil tembus ke jurnal internasional berreputasi, beberapa teman bertanya dan berkomentar, ‘gimana caranya?’, ‘bagi dong ilmunya, atau ‘saya diajari ya.’

Baiklah, saya ingin cerita proses jatuh bangun dan deretan kegagalan di balik publikasi ini.

Artikel ini merupakan cuwilan dari salah satu bab tesis S3 saya. Datanya tetap, tapi pendekatannya saya sentuh di sana-sini. Tidak banyak sih, yang penting ada rasa baru. Setidaknya menurut saya.

Saya lupa kapan tepatnya saya mulai menulis manuskrip ini. Di desktop saya, cukup banyak tulisan—ilmiah dan kreatif—yang tidak selesai. Tepatnya, belum sempat diselesaikan. Entah karena malas, kesibukan yang bejibun, atau malah lupa punya bahan tulisan. Nah, artikel ini termasuk yang terakhir. Yang saya ingat adalah saya pernah meminta ijin ke Fran Martin, supervisor saya, untuk mencantumkan namanya di satu artikel yang sedang saya persiapkan. Saat itu saya masih berstatus mahasiswa bimbingannya. Itu sekitar awal 2015. Tesis sudah hampir rampung, masa kepulangan tinggal menghitung bulan, dan saya tahu tagihan-tagihan akademik sebagai dosen sudah menanti. Salah satunya adalah publikasi ilmiah. Eh, si Fran malah menolak. Dia bilang, ‘it’s your own work, Tiwi.’ Yah….kecewa deh.

Sirnalah keinginan saya numpang beken di dunia akademik. Publikasi supervisor saya ini banyak banget. Silakan cek di sini. Tapi saya memahami pilihannya. Di disiplin Humaniora, termasuk di antaranya Cultural Studies, tidak jamak ditemukan nama dosen pembimbing nempel di publikasi mahasiswa bimbingannya. Saya pernah membaca publikasi beberapa mahasiswa bimbingan Fran. Semuanya main solo.

Alhasil saya kembali fokus ke penyelesaian tesis. Singkat cerita, kuliah selesai, dan saya kembali ke habitat saya di universitas tercinta, sembari menyimpan angan-angan, ‘kapan yo bisa publish ke jurnal keren?’ Di paruh kedua tahun 2016, Unesa semakin menggeliat dalam mengompori para dosen untuk publikasi di jurnal internasional. Saya bertemu dengan teman-teman yang hebat dan publikasinya sudah berderet-deret di Scopus. Saya?…satupun belum punya. Dengan suasana akademik yang kondusif ini, saya mencoba peruntungan kembali. Mulailah acara ubek-ubek isi Dropbox dan Hard disk. Eh…ketemu manuskrip yang jumlah halamannya sudah cukup panjang. Judulnya ‘Forum Lingkar Pena Hong Kong’ : Defining Islamic Modernity through Literacy Practices by Indonesian Domestic Workers. Setelah menghaluskan manuskrip di sana sini agar tidak terkesan dipenggal dari bab tesis, saya coba kirimkan ke satu jurnal terbitan Elsevier, yakni Women’s Studies International Forum (WSIF). Mengapa saya memilih jurnal ini? Ya pakai feeling saja sebenarnya. Topik saya cukup nyambung dengan area jurnal WSIF ini. Selain itu, jurnal ini masuk Q2. Alasan lain yang gak ilmiah: teman PhD seangkatan saya, Shu Min dari Singapore, sudah publish di jurnal ini. Padahal saat itu dia belum selesai studi (eh..apa hubungannya?).

Di cover letter yang saya lampirkan, artikel ini saya kirimkan tertanggal 11 November 2016. Bagaimana hasilnya? Tak menunggu lama, sekitar 2 minggu kemudian, saya menerima email balasan. Cepet banget? Saya jadi gak enak hati. Dan bener juga. Artikel ini rejected. Kata editornya, topiknya tidak sesuai dengan focus WISF. Duh…rada ngenes juga. Ternyata saya terlalu PD, mengira tema manuskrip saya ini relevan banget. Kurang apa coba? Nama jurnalnya Women’s Studies International Forum, dan saya menulis tentang isu perempuan buruh migran. Aneh kan kalau dianggap tidak relevan? (Ini mah curhatan orang yang kurang terima dapat penolakan). Pada saat yang sama, saya juga masih menunggu hasil review manuskrip lain yang saya kirim di jurnal berbeda. Kapan-kapan saja saya cerita nasib manuskrip perdana ini.

Saya penasaran karena jurnal WISF sebenarnya tidak mengatakan apa-apa tentang kualitas tulisan, kecuali bahwa temanya tidak sesuai. Saya cermati lagi manuskrip ini. Ngecek judulnya, isinya, teori yang dipakai, dan macem-macem. Saya mulai hunting jurnal lain di scimagojr.com. Cari yang reputable, tentang perempuan, dan bisa mewadahi analisis karya kreatif. Ketemulah jurnal bernama Contemporary Women’s Writing. Hati saya berkata, mungkin inilah pilihan yang lebih tepat. Ditolak jurnal Q2, saya mencoba peruntungan di level bawahnya, Q3. Saya baca-baca artikel yang dipublikasikan di jurnal terbitan Oxford UP ini, nampaknya lebih relevan. Ada banyak karya klasik dan kontemporer yang ditulis perempuan menjadi subjek analisis. Jadi kalau saya mengangkat tulisan kreatif para BMI Hong Kong, mestinya akan menjadi terobosan baru. Boleh dong optimistis!

Judul artikel saya ubah menjadi lebih simpel, ‘Forum Lingkar Pena Hong Kong: Defining Islamic Modernity through Indonesian Domestic Workers’ Creative Writing.’ Isinya gak banyak berubah, dan langsung saya submit via online system. Respon dari jurnal ini cukup lama saya terima.. Selama menunggu ini, status artikel saya intip terus, eh siapa tahu ada kabar. Ada sekitar dua bulan masa tunggu.

Jawaban yang terima via email berasa ditolak gebetan yang lama diimpikan. Bagaimana rasanya ketika seseorang yang kamu rindukan bilang begini:

“kamu tuh baik banget sama aku, gak pernah nyakiti aku, selalu perhatian.         Pokoknya kamu itu ‘one of a kind’ deh. Tapi kita berteman aja. Kayaknya aku nggak cocok buat kamu. Gimana kalau kamu aku kenalkan sama temen baikku?”

Saya speechless baca pujian di email balasan. ‘This is a well-crafted and carefully researched essay, and the topic is really interesting. Unfortunately, our journal covers articles from literary perspectives, while your manuscript has a sociological nuance. I suggest that you submit it to journals that cover issues of culture and religion. You may be interested in publishing your article in our open access journal ……dst dst.

Kecewa ditolak lagi meski seneng juga bahwa artikel saya dinilai berkualitas (tapi tetap aja gak relevan), saya jadi agak kehilangan semangat. Mana pula manuskrip satunya dapat banyak masukan lumayan kritis dari reviewer. Saya sejenak mengesampingkan niat submit ke jurnal, dan bergerak ke level yang lebih terjangkau. Presentasi di konferensi dan publish di indexed proceedings. Nulisnya tandem, sebagai penulis pertama maupun kedua. Tidak main solo.  Topiknya tetap literasi, namun tidak lagi tentang literasi BMI Hong Kong. Beberapa di antaranya sudah publish di Atlantis Press, dan satu artikel di prosiding sudah terindeks Scopus.

Meski begitu, isu BMI tetap menghiasi beberapa dongengan saya ketika kebetulan diminta bicara tentang literasi dan komunitas. Sampai kemudian niat menerbitkan buku ilmiah bergaya populer juga keturutan. Dari pertemanan saya dengan mbak Sofie Dewayani di Satgas Gerakan Literasi Sekolah Kemdikbud, kami berkolaborasi menyatukan disertasi kami dalam sebuah buku berjudul Suara dari Marjin: Literasi sebagai Praktik Sosial (2017) terbitan Rosdakarya. Pendekatan kami praktis sama, yakni New Literacy Studies. Bedanya di subjek penelitian. Mbak Sofie mengangkat praktik literasi anak jalanan di Bandung dalam disertasinya di the University of Illinois at Urbana-Champain, sementara saya fokus pada literasi BMI Hong Kong. Secara kualitas, kami berdua puas dengan buku SDM ini, dan berencana menyiapkan sequel-nya. Meski begitu, kami berdua sama-sama menyimpan mimpi menulis bareng untuk jurnal internasional berreputasi. Kerangka artikel tentang Literacy and Space menjadi pengingat agar mimpi ini tidak hanya angan semata.

Setelah penolakan dari Contemporary Women’s Writing di awal 2017 itu, sesekali saya masih suka browsing jurnal yang pas. Pernah nemu jurnal bernama Culture and Religion terbitan Taylor and Francis group. Pernah iseng mengisi submission form di jurnal ini di bulan Juli 2017, tapi tidak saya lanjutkan. Entah kenapa, saya lupa alasannya. Alasan paling masuk akal adalah kakehan gawean. Nah, di bulan itu, semangat publikasi berkobar lagi ketika saya mendapatkan kesempatan untuk ikut pendampingan publikasi jurnal dalam program APDP (Alumni Professional Development Program), yang merupakan kolaborasi beberapa universitas di Australia. Sasarannya adalah para alumni S2/S3 lulusan Australia. Maka ikutlah saya di workshopnya yang diadakan di Makasar. Saya juga mendapatkan mentor melalui proses online mentoring selama 3 bulan untuk menyempurnakan manuskrip. Proses mentoring berjalan lancar di awal Agustus-September, dan kemudian saya tenggelam lagi dalam tagihan administrasi dan akademik lain. Saya merasa kecewa dengan diri saya sendiri. Tidak mampu menyelesaikan target pribadi dan hanya mencari alasan pembenaran.

Di penghujung akhir tahun 2017, ketika orang-orang melakukan refleksi, membuat resolusi, atau menyiapkan bakaran ikan, saya menatap desktop. Saya mencoba menemukan satu bukti produktivitas yang saya tetapkan di akhir tahun sebelumnya. Saya masih belum juga submit artikel ke jurnal internasional.

Hasil perenungan di depan desktop membawa saya ke email notifikasi dari Culture and Religion bahwa saya pernah menyiapkan draf untuk publikasi. Satu artikel yang tak tersentuh selama setengah tahun. Saya niatkan menutup tahun 2017 dengan menuntaskan target ini. Setelah memastikan panjang dan format artikel sesuai dengan ketentuan, mengupdate cover letter, saya sentuh lagi judulnya agar lebih nendang. Jadilah manuskrip siap submit dengan judul ‘Defining Islamic Modernity through Creative Writing: A Case Study of Indonesian Domestic Workers in Hong Kong.’ Saya bahkan tidak terlalu ingat siapa penerbitnya dan Q berapa. Yang saya pegang sebagai ukuran kualitas adalah Taylor and Francis group. Baru belakangan saya sadar bahwa saya sudah submit artikel ke jurnal Q1. Wah…nekad banget ini. Ditolak jurnal Q2 dan Q3, malah kirim ke Q1.

Di sela-sela tugas sehari-hari, saya rutin mengecek status review artikel di online system. Dua bulan tanpa kabar, tiga bulan, empat bulan. Status masih waiting for review. Kalau tidak salah baru di bulan keenam statusnya berubah menjadi ‘under review.’ Saya coba kirim email, tapi tidak dibalas oleh editor. To be honest, I had almost given up hope, tapi kemudian optimistis lagi setelah mendengar cerita dari banyak teman dan kolega, yang WNI maupun WNA. Rejection is part of the deal.

(bersambung)