Apakah Anda pernah menerima kiriman file lewat email tanpa pesan dari seorang teman/siswa/mahasiswa? Email tanpa tulisan apa-apa, kecuali file yang disertakan. Bahkan kadangkala email tersebut tanpa ‘subject.’ Email bodong, kalua saya boleh menyebutnya demikian.

Semester ini saya sudah mulai aktif mengajar di jurusan. Saya mengampu beberapa mata kuliah di prodi S-1 Sastra Inggris. Dalam beberapa kali tugas, saya meminta mahasiswa untuk mengirimkan tugasnya melalui email. Maksud saya supaya hemat kertas, dan saya bisa memeriksa tugas mahasiswa di mana saja saat ada waktu senggang.

Namun kemudian saya cukup terkejut ketika mayoritas mahasiswa mengirimkan email bodong untuk menyetorkan tugasnya. Praktis hanya satu mahasiswa yang menuliskan satu kalimat: “This is my interpretation of key elements inside American Sniper the movie. I hope my writing is acceptable, ma’am. Hehe.”

Saya apresiasi upayanya menuliskan kalimat ini, meskipun tanpa ada pembukaan “dear ….”

Di satu sisi, saya tidak habis pikir. Bagaimana mungkin mahasiswa tahun terakhir belum memahami etika menulis email dengan baik? Di sisi lain, banyaknya mahasiswa yang melakukan hal yang sama bisa jadi menunjukkan adanya persepsi tertentu tentang penulisan email. Rasanya tidak mungkin mereka tidak tahu cara menulis email, apalagi saya yakin mereka sudah pernah mengambil mata kuliah Business Letters atau Business Correspondence di semester sebelumnya.

Saya putuskan bahwa saya mengambil satu tindakan untuk mengatasi hal ini. Saya membalas semua email mahasiswa dengan ucapan terima kasih yang singkat dan standard. “Dear …, thanks for this,” atau “Dear …, thank you. I look forward to reading it.”

Beberapa hari kemudian di kelas, saya membuka obrolan dengan sekali lagi mengucapkan terima kasih atas penyerahan tugas yang tepat waktu. Dan mulailah saya bercerita. Kira-kira begini padanannya dalam bahasa Indonesia:

Tahu nggak, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menulis email ke seorang dosen pembimbing/pengajar mata kuliah? Mahasiswa Indonesia yang kuliah di luar negeri suka ‘stress’ saat harus mengirim email ke dosen atau supervisornya. Padahal ‘kewajiban’ kirim email ini harus sering dan rutin dilakukan. Entah berapa menit (dan bahkan jam) harus disisihkan untuk sekedar menuliskan “Dear …, I’m writing this email to let you know that bla bla bla. Kalimat yang sudah ditulis acapkali dihapus lagi. Diganti dengan kalimat lain. Kalau dirasa masih kurang detil, ya ditambahi lagi. Dihapus lagi. Kadang setengah hari habis hanya untuk memastikan apakah emailnya sudah cukup ‘bunyi.’ Dan yang jelas, cukup sopan dan menggunakan bahasa Inggris yang baik dan benar. Memencet icon ‘send’ bisa bolak-balik ditunda gara-gara khawatir emailnya belum ‘pantas.’ Nah begitu email terkirim, jawaban dari supervisor mungkin hanya 1-2 kalimat amat pendek. Menariknya, ternyata mahasiswa lokalpun bisa mengalami hal yang sama.

PhD comic ini barangkali bisa mewakilinya:

PHD COMIC

Mahasiswa di kelas saya ketawa mendengar cerita ini. Tapi dari raut muka mereka, saya rasa mereka belum ‘ngeh’ apa maksud saya menceritakan pengalaman ini. Lalu saya teruskan:

Nah, tadi malam saya ngecek email saya,. Terima kasih ya, sudah saya jawab semua juga. Cuma kok email Anda tidak ada tulisan apa-apa ya. Saya rada bingung apa gerangan isi file Anda. Jadi saya harus mengunduh file-file kiriman tugas Anda semua dulu.

Saya diam. Berhenti bicara. Sambil tersenyum, saya pandang mahasiswa satu-persatu. Mereka mulai tersipu-sipu. Ada yang nyengir mengiyakan. Satu-satunya mahasiswa yang mengirim email dengan pesan menampakkan wajah yang lega yang menyiratkan kebanggaan diri.

“Saya tidak marah lho ya. Cuma heran saja. Tidak biasanya saya terima email tanpa isi. Kalau boleh tahu, kira-kira kenapa sih, Anda kirim email tanpa pesan. Ingat lho ya, saya ndak marah. Cuma pingin dengar saja alasannya.”

Satu mahasiswapun menjawab: “We wrote emails like that to all lecturers, Ma’am.”

Saya: Oh, I see. But why? I need to know.

Mahasiswa lain menimpali: Takut dikira caper Ma’am. Kalau nulis email terus ada isinya, apalagi kalimatnya sopan dan panjang, nanti dianggap gimana gitu. Kayak minta nilai bagus.

This is really interesting. Saya tidak menduga mahasiswa bisa memiliki persepsi begitu tentang etika menulis email.

Mahasiswa lain memberikan jawaban berbeda: “We just don’t know what to write in the email, Ma’am. Ya sudah, kirim file saja.”

Sontak sebagian mahasiswa mengiyakan. Nampaknya ini yang lebih umum. Dan sayangnya, memprihatinkan.

Di jaman serba digital dan instan sekarang ini, entah berapa banyak media yang kita pakai untuk berkomunikasi dengan orang lain. Saking cepat dan banyaknya email dan pesan yang lalu lalang di berbagai gadget kita, orang semakin tidak menyadari aturan main dalam berinteraksi di dunia maya (Padahal dunia ini sudah membuat kita gampang lupa dengan cara berkomunikasi di dunia nyata).

Menulis email atau pesan singkat dengan baik itu penting. Apalagi bila ada attachment, gambar atau tautan ke situs tertentu yang disertakan. Saya mau katakan bahwa ini adalah contoh literasi (bukan karena saya lagi gencar promosi pentingnya literasi). Email atau pesan itu sendiri adalah contoh dari teks fungsional, yang juga punya pakem tertentu. Bisa jadi bervariasinya jawaban mahasiswa saya di atas adalah karena mereka belum paham fungsi teks untuk berbagai tujuan komunikasi sosial, meski mereka sudah pernah diajarkan di kelas.

Mereka bukannya tidak tahu bahwa email itu perlu ada elemen ‘sapaan, badan email, penutup, dan salam. Mereka pasti sudah belajar menulis email dengan baik di mata kuliah Business Letters. Lalu mengapa mereka tidak menggunakan pakem itu saat menulis email kepada para dosennya?

Jadi sebenarnya literasi itu bukan hanya masalah kompetensi kognitif saja, namun juga sosiokultural. Mau diajari berbagai jenis teks/genre, kalau tidak terbiasa membaca (apalagi menghasilkan) teks seperti itu di kehidupan sehari-hari, maka literasi belum bisa terinternalisasi.

Okay, jadi sekarang butuh pembiasaan. Dan untuk itu, harus ada ‘pihak’ yang menyadarkan pentingnya pembiasaan. Maka saya minta mahasiswa untuk membiasakan menulis email sesuai pakemnya, sesingkat apapun isinya. “Lain kali kalau Anda kirim tugas lagi, saya akan dengan senang hati membaca pesan Anda.”

Yes, Ma’am,” serentak mahasiswa saya menjawab, sambil senyam-senyum menahan rasa malu mereka.

Dan nampaknya sentilan saya menunjukkan hasilnya. Di tugas berikutnya, tak satupun mahasiswa mengirimkan email bodong. Rata-rata emailnya jadi manis. Seperti yang satu ini:

Dear Mrs. Pratiwi

I have resent my third assignment for Film Interpretation class because I forgot to write the title of the movie. The movie is 2010 American movie titled For Colored Girls. I deeply apologize for being late and for the inconveniences.

Thank you,

……

Saya tersenyum puas. Ini perkembangan yang sangat baik. Sebuah perilaku yang kurang berterima bisa diluruskan tanpa harus lewat ‘ngomel’ atau marah-marah di kelas. Saya percaya mereka menulis email dengan lebih baik karena kesadaran diri. Bukan karena disuruh bu Pratiwi. Ke dosen lain, saya yakin mereka juga akan melakukan hal yang sama.

Saat saya menikmati rasa lega ini, ada email baru masuk. Kiriman dari mahasiswa nampaknya. Dari kelas lain, karena di situ ada file tugas mata kuliah berbeda yang disertakan. Email bodong.

Hmm, kelas lain menanti untuk disentil kesadarannya.

 

Kebraon, 27 November 2015, 05.00 wib