Saya suka gemes mengetahui bahwa mahasiswa di kelas-kelas yang saya ajar tidak/belum banyak baca buku. Baik itu  buku sastra maupun populer. Fakta ini muncul saat kelas kami sedang membahas sebuah topik. Saya sering bertanya kepada mahasiswa saya: “Have you read any writing by such and such? Jawaban yang saya dapat seringkali berupa gelengan kepala, atau pertanyaan balik, “siapa itu ma’am?

Berkutat dengan literasi selama beberapa tahun terakhir membuat saya ingin menularkan virus pentingnya membaca dan menulis dalam kehidupan sehari-hari kepada setiap orang yang saya temui. Karena yang paling sering berinteraksi dengan saya adalah mahasiswa, maka mereka menjadi ‘sasaran empuk’ saya.

Dalam tulisan-tulisan sebelumnya di blog ini, saya sudah mengulas cukup detil tentang pentingnya Sustained Silent Reading (SSR) di sekolah. Di tiap kesempatan di mana saya berbicara di depan forum, SSR tidak pernah luput dari presentasi saya. Tentu saja saya juga harus punya komitmen ketika menegaskan bahwa modeling adalah kunci keberhasilan SSR.

Sebenarnya SSR bukan barang baru di jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Unesa. Kami memiliki program yang kami sebut sebagai Independent Reading (IR), yang menjadi bagian integral dari Integrated Intensive Course untuk mahasiswa baru. Dalam IR ini, mahasiswa ditugasi membaca simplified novels minimal 6 judul selama 1 semester. Hanya saja, program ini dilakukan seminggu sekali, dan hanya berlangsung selama 1 semester. Dengan demikian dampaknya terhadap minat membaca mahasiswa belum terlihat, dan belum pernah kami kaji secara ilmiah juga.

Di keluarga saya sendiri, saya sudah lama melakukan SSR di rumah dengan kedua anak saya. Setelah melakukannya selama beberapa tahun sejak kami masih di Melbourne, sekarang kami tidak lagi terlalu sering menyisihkan waktu khusus untuk SSR di rumah. Anak-anak sudah terbiasa menghadirkan buku dalam kegiatan sehari-harinya. Ganta, misalnya, lebih banyak membaca buku (dan nonton film via streaming) bila berada di rumah. Adzra juga sibuk menghabiskan koleksi komik KKPK di perpustakaan sekolah untuk dipinjam. Kemampuan bahasa Indonesianya meningkat tajam sejak beralih membaca buku-buku cerita dalam Bahasa Indonesia. Sekarang ini, setiap kami mau pergi, saya perhatikan anak-anak sudah terbiasa nyangking buku. Entah sempat dibaca atau tidak, yang penting rutinitas sudah terbentuk, sebagaimana kebiasaan saya untuk selalu menyelipkan buku di dalam tas kemanapun saya pergi. Bertolak dari pengalaman pribadi ini, saya ingin membawanya ke kelas saya. Sekaligus untuk mempraktikkan gagasan-gagasan literasi yang selama ini saya tuangkan di banyak kesempatan.

Nah, sekarang giliran mahasiswa saya yang jadi sasaran SSR. Di salah satu kelas yang saya ajar semester ini, Poetry Appreciation, Sastra Inggris angkatan 2014, saya bertemu dengan mereka 2 kali seminggu. Kesempatan yang pas untuk memulai SSR. Maka saya  menyampaikan program 15 menit membaca di awal pertemuan. Saya minta mahasiswa membawa buku apapun yang mereka suka dan ingin baca. Novel, komik, majalah, buku populer. Tebal atau tipis. Pokoknya sembarang. Yang penting dalam bahasa Inggris. Namanya juga di jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, jadi harus ada kekhasannya. Saya juga sampaikan bahwa saya juga akan duduk manis dan melakukan hal yang sama. Tidak ada tugas apa-apa untuk kegiatan ini, selain membaca itu sendiri.

Di pertemuan kedua, ketika saya sudah siap dengan materi kuliah dan buku bacaan di tangan, saya harap-harap cemas. Apakah mahasiswa ingat dengan tugas membawa buku. Ternyata semuanya sudah siap dengan buku di tangan masing-masing. A very good start!

Tanpa banyak penjelasan, saya langsung set waktu. Okay, time for SSR!

 

Tak perlu waktu lama, sekitar 40 mahasiswa  di kelas sudah tenggelam dengan buku masing-masing. Saya lirik sekilas. Kebanyakan pegang novel populer. Di baris belakang ada yang sedang tenggelam dalam komiknya. Ada juga yang bawa majalah National Geographic. Dan ada pula yang bawa buku bacaan anak-anak. Tidak apa. Yang penting mereka sudah mulai bersentuhan dengan buku di luar perkuliahan. Saya sendiri memanfaatkan kesempatan ini untuk membaca kembali A Thousand Splendid Suns oleh Khaled Hosseini. Novel ini sudah lama bertengger di rak buku saya, hasil berburu buku bekas di Melbourne dulu. Namun saya belum sempat menyelesaikannya. Saya putuskan membaca dari awal lagi. Siapa tahu dapat perspektif baru.

Sampai hari Jumat kemarin, kami sudah melaksanakan SSR sebanyak 3 kali. Novel di tangan saya juga sudah berganti, yakni The Namesake oleh Jhumpa Lahiri. Sesaat sebelum mengawali kuliah, saya sempat bertanya ke mahasiswa tentang respon mereka terhadap SSR. Apakah ada pertanyaan atau kesulitan, atau bahkan keberatan. Mayoritas menikmati kegiatan ini. Tidak ada tuntutan apa-apa membuat mereka merasa bebas membaca apa saja.

Tentu saja SSR akan menjadi lebih bermakna bila ada keterkaitan antara buku yang dibaca dengan kehidupan kita. Nah, saya menggunakan kesempatan beberapa menit untuk mengulas sedikit novel The Namesake. Saya memang sengaja membaca novel ini, karena muatan praktik literasinya amat kental. Tokoh utamanya, Ashoke, adalah mahasiswa PhD di bidang Engineering di MIT di Boston, namun dia sudah membaca novel-novel klasik sejak masih di bangku sekolah. Ashoke adalah seorang pembaca yang akut. Baginya, membaca buku bisa membawanya keliling dunia hanya dengan membuka halaman demi halaman. Sampai akhirnya Ashoke bertemu dengan seseorang yang mendorongnya untuk pergi ke tempat lain, keluar dari India, semampang masih muda dan belum terikat apa-apa. “You will not regret it. Someday it will be too late,” begitu kata temannya. Dorongan untuk melihat dunia luar inilah yang kemudian memperkaya The Namesake dengan isu-isu diaspora, kesenjangan antargenerasi, dan konflik budaya India dan Amerika.

Menariknya isu di atas mendorong saya untuk melakukan Reading Aloud sebagai tindak lanjut dari SSR. Saya bacakan beberapa paragraf dari novel itu di depan mahasiswa untuk membawa mereka pada nuansa cerita. Sekalian memberikan contoh kepada mereka bila suatu saat nanti saya meminta mereka untuk berbagi isi buku yang mereka baca.

Berapa menit waktu yang kami habiskan untuk semua itu? Tidak lebih dari 20 menit. 15 menit untuk membaca, dan 5 menit untuk respon kilat. Untuk respon inipun tidak perlu dilakukan setiap kali SSR berlangsung. Cukup 2 minggu sekali. Begitu usai, kuliah langsung bisa dimulai.

Apa sebenarnya manfaat dari SSR yang saya rasakan? Saya mengulas novel sekilas, padahal kuliah yang saya ajarkan adalah Poetry Appreciation. Namun buat seorang dalang, selalu ada ruang untuk mengaitkan dua hal yang kelihatannya berbeda. Kata-kata indah atau simbolis di dalam novel bisa menjadi pengantar untuk masuk ke topik bahasan puisi yang memang banyak diwarnai penggunaan diksi yang simbolis.

Yang tak kalah pentingnya, dengan membaca dalam suasana tenang dan rileks sebelum kuliah dimulai, sebenarnya saya sedang mengajak mahasiswa untuk melakukan warming up, mempersiapkan diri secara mental untuk memulai perkuliahan. Mungkin saya kehilangan waktu 15 menit untuk SSR, namun dampak psikologis yang positif justru memberikan kontribusi terhadap kelancaran perkuliahan. Masih perlu waktu yang cukup lama untuk melihat dampak yang signifikan dari SSR ini. Namun kami sudah mengawalinya dengan cukup baik.

Lain kali saya juga ingin menuliskan pengalaman teman-teman dosen di jurusan kami. Saya bukanlah orang pertama yang melakukan ini. Ada pak Slamet Setiawan yang sudah pernah mempraktikkannya tahun lalu. Dan di semester ini juga, ada 10 dosen di jurusan kami yang sedang terlibat dalam program English Course untuk mahasiswa FMIPA-Unesa angkatan 2015. Kami sengaja memasukkan unsur SSR di lima kelas yang diampu. Saya kira akan menarik sekali mencatat dan mengkaji respon mahasiswa non-bahasa terhadap SSR. Menghadirkan rasa humaniora di kelas sains akan menjadi gebrakan yang luar biasa.

Tunggu laporan berikutnya ya!