Radit, ponakan saya, baru berusia 3 tahun. Dia adalah anak sulung Iin, adik perempuan saya yang keempat. Saya amati, beberapa kali Radit melihat saya datang ke rumah Ngagel, senyumnya langsung mengembang.

Biasanya Radit langsung lari ke dalam kamarnya. Tak lama kemudian dia akan menyodorkan buku. “Ayo budhe, baca buku cerita.”

Saya masih ingat ketika saya baru pulang ke tanah air di awal Agustus yang lalu. Saya mendekati Radit dan adiknya, Kiki. Kedua ponakan saya ini tentunya belum punya memori sedikitpun tentang budhe-nya. Maklum, saya melihat Radit pertama kali di awal 2013, dia masih belum genap 1 tahun. Itu saat saya pulang ke tanah air untuk melakukan penelitian lapangan. Sedangkan Kiki, adiknya, malah belum pernah ketemu budhe-nya sama sekali. Bahkan dia lahir saat mbah Kung dan mbah Uti-nya berada di Melbourne di akhir 2013, menengok saya dan keluarga selama 3 bulan.

Radit dan Kiki
Radit dan Kiki

Karena dua ponakan saya ini masih belum kenal budhe-nya, maka saya berupaya mendekati. Mengajak ngobrol. Bernyanyi lagu-lagu yang Radit kenal di sekolahnya di PAUD Ngagel Rejo. Saya coba kenalkan lagu-lagu anak dalam bahasa Inggris kesukaan Adzra. Eh, tak dinyana, Radit malah jadi bete: “Nggak mau lagu itu.” Saya coba ganti lagu. Dia tetap gak mau didekati. Jual mahal sama budhe-nya.

‘Ya sudah, budhe mau baca buku cerita saja,” ujar saya, seraya mengambil salah satu buku Radit. Koleksi buku cerita Adzra yang sudah tidak terpakai lagi memang sudah berpindah  lokasi. Dari Kebraon dan Melbourne ke Ngagel.  Jadi saya masih hafal buku-buku Adzra yang sekarang menjadi koleksi Radit.

“Nggak boleh, ini punyaku,” protes Radit, mempertahankan bukunya.

Budhe pinjam ya, nanti budhe bacakan cerita buat Radit,” rayu saya.

Radit masih manyun, tapi membiarkan saya membuka-buka bukunya. Beberapa bukunya saja jejer. ‘Radit suka yang mana?’

“Aku suka Thomas,” jawabnya. Nada suaranya masih setengah ketus.

“Okay, budhe bacakan cerita tentang pak Fat Controller ya. Saya buka buku cerita seri Thomas yang berjudul The Fat Controller. Maka mulai saya bergaya seperti tukang dongeng. Sambil menterjermahkan isi buku itu dengan bahasa sederhana, menunjukkan gambar, dan mengolah cerita dengan gaya saya sendiri.

Saya amati Radit mulai mendekat ke sisi kanan saya. Dia menempelkan tubuhnya ke lengan saya, dan seksama mendengarkan saya berceloteh. Dalam hati saya tersenyum. Setengah takjub dengan cepatnya pengaruh buku cerita ke emosi Radit.

Sampai di tengah-tengah cerita, Radit nyeletuk: “bacakan ini lagi budhe,”  seraya membalik buku ke halaman yang dia ingin saya bacakan kembali. Itu halaman di mana saya berpura-pura menjadi pak Fat Controller yang sedang ngomel pada Thomas dan kawan-kawannya, karena mereka kurang rajin dalam bekerja. Entah berapa kali Radit meminta saya mengulang halaman itu. Tapi saya lihat dia selalu cekikikan mendengarnya.

‘Sudah ya, ganti buku yang lain,” kata saya. Raditpun bergegas ke kotak bukunya. Membongkar isinya, dan mencari-cari buku lain yang dia ingin saya bacakan.

Radit seperti tak bosan mendengarkan saya bercerita. Sampai kemudian saya merasa mengantuk. Saya rebahan di kasur. Mencoba terlelap sebentar.

Budhe, ojok tidur ta. Ayo baca lagi.” Semua yang di rumah ngakak mendengarnya.

Budhe capek, Dit. Nanti saja baca lagi,” kata mbah Utinya.

Tapi namanya anak, kalau sudah punya keinginan, ya terus minta dituruti. Dan saya mengalah, meneruskan mendongeng.

Begitulah seterusnya. Sejak itu, setiap kali ada saya, Radit cenderung meminta perhatian. Minta dibacakan cerita. Dia juga suka bercerita tentang hal-hal yang menurutnya menarik. Misalnya bagaimana bunyi kereta yang dia lihat pada sore hari di persimpangan kereta Ngagel.  Radit memang suka meminta mbah Kung-nya mengajak dia naik sepeda motor, melihat kereta lewat di sore hari. Jadi dia hafal jam berapa kereta Sancaka atau Argo Wilis lewat. Tak heran tumbuh kecintaannya pada cerita Thomas.

Bila saya kelihatan tidak terlalu memberikan perhatian pada ocehannya, dan beralih ke obrolan dengan orang-orang yang lebih dewasa, maka Radit akan langsung ngambek. ‘Gak suka budhe.” Atau saya langsung dipukuli.  Wajahnya tertekuk, cemberut berat.

Saya heran juga. Bagaimana Radit seperti tiba-tiba ingin saya  memberikan perhatian penuh. Padahal Mamanya juga suka membacakan dongeng untuknya. Saya tahu itu, karena Radit bisa dengan lancar menimpali pertanyaan-pertanyaan saya tentang buku yang sedang saya bacakan.

Seperti tadi pagi, ketika saya datang lagi ke Ngagel. Eric, papa Radit, baru saja kecelakaan. Terjatuh dari sepeda motor karena disalip pengendara sepeda motor lain. Begitu saya muncul dari balik pagar, Radit langsung menyambut saya dengan buku Thomas yang lain. Saya ingat menitipkan buku itu ke mbah Kung. Sekarang saya ingin mendengar apakah Radit sudah tahu isinya.

Dengan sigap Radit langsung nempel di sisi saya. Meminta saya membacakan buku tentang Harold si helikopter yang merasa lebih cepat daripada Percy si kereta uap. Dari ocehannya saat menimpali cerita yang saya bacakan, saya tahu bahwa mamanya sudah lebih dulu membacakannya.

Usai satu buku, Radit mengambil buku yang lain. Masih buku tentang kereta api. Kali ini buku yang saya belikan saat saya mengajak para ponakan ke toko buku Uranus beberapa waktu yang lalu. Maunya Radit, saya terus diminta membaca. Tapi saya pamit Radit: “Budhe ke pasar dulu ya. Mau belanja sebentar saja.”

Setengah jam kemudian, saat saya balik ke rumah Ngagel dengan menenteng belanjaan, mamanya bilang: “Radit protes, budhe kenapa ke pasar? Aku mau baca buku.” Kebetulan saat itu nenek Radit dari Papanya sedang menjenguk juga. Emak, begitu Radit memanggilnya, sampai heran: “lha budhe ke pasar kok gak boleh.” Tapi saya ketawa saja.

Saya bergegas menaruh belanjaan di dapur, dan mengajaknya meneruskan membaca buku berikutnya. Adzra dan Radit berada di sisi kiri dan kanan saya. Dan di sela-sela kami menikmati buku, saya lihat wajah Radit yang ceria dengan berbagai celotehannya tentang kereta. Di sela-sela ocehannya, tiba-tiba Radit mendekati  saya, mencium pipi kanan saya. Lha kok saya jadi terharu.

Punya ponakan yang menjadi lekat karena hadirnya buku sebagai perekat menjadi tantangan juga. “Budhe di sini saja, nginep. Budhe jangan pulang,” pintanya dengan suara memelas. Semua mencoba merayu. “Minggu depan ketemu lagi ya, kan mbak Adzra mau ulang tahun. Nanti kita buat acara baca buku cerita.”

Sejenak wajahnya bersinar, tapi kemudian meminta lagi: “Budhe di sini saja.”

Di depan pagar rumah, saat kami siap-siap mau pulang, Adzra membujuk Radit: “nanti kita buat kue dari kereta.”

“Aku nggak mau kue kereta. Aku mau baca cerita saja.” protes Radit, sambil sembunyi di gendongan mamanya.

Radit masih mau mencium tangan saya saat saya pamit. Tapi ketika Ganta mengulurkan tangannya, Radit malah memukulinya. Dia kira, mas Ganta-lah penyebab budhe-nya harus pulang.

Sambil saya berjalan menuju mobil dengan Adzra dan Ganta, lamat-lamat saya mendengar rengekan Radit. “Budhe gak boleh pulang.”