Pagi ini di dapur, saat memanaskan susu di microwave untuk Adzra, saya bertanya kepadanya, ‘what are you going to do today?

I’m going to start my day reading. Then I will ….”. Dan saat saya meneruskan tulisan ini, Adzra sedang sibuk membuat timetable untuk kegiatan hari ini.

Saat liburan sekolah seperti sekarang ini, tantangan yang dihadapi orang-tua seperti saya adalah memastikan anak melakukan kegiatan produktif dan menyenangkan. Liburan akhir tahun di Australia memang cukup panjang. Mulai pertengahan Desember sampai akhir Januari. Sementara ibunya dikejar timeline tesis di tahun terakhir. Tidak banyak waktu untuk jalan-jalan.

Kadang-kadang kasihan juga melihatnya sendirian, sementara saya harus tetap konsentrasi di depan komputer, ditemani tumpukan buku. Pilihan saya untuk membuat Adzra sibuk adalah membaca dan crafting. Syukurlah, melihat ibunya kerja, meski kadang-kadang protes, jawaban Adzra lebih sering menenangkan. Bila rumah terasa senyap, dan saya tidak melihat Adzra lagi di ruang tamu, maka saya biasanya mulai panggil-panggil.

Adzra, sweety, where are you?”, “sayang, what are you doing?” Acapkali saya tengok dia sedang tenggelam dalam buku di kamar. “I’m okay, mommy. I’m reading this book. Kali lain mojok di hideaway dia, sedang memainkan kisah dengan boneka kecil-kecilnya.

Kalimat yang diucapkan Adzra seringkali membuat saya tertegun. Nampaknya dia sudah membangun sikap dan nilai yang positif tentang kegiatan membaca. Misalnya saja seperti ini:

Thank you mommy for telling me that reading is good.” Atau begini: “I like to start my day reading a book, and end the day reading too.”

Ketika dia melihat perhatian ibunya tersedot ke komputer, biasanya Adzra akan bilang, “mommy, I’m just going to read, okay.” Adzra memilih space di belajang pojok belajar saya. Katanya, supaya mudah bila mau tanya-tanya sementara saya sedang bekerja.

Memiliki pojok belajar berdekatan artinya saya harus siap dengan pertanyaan atau jawilan Adzra. Seringkali saat saya sedang nggethu nggarap, 10-15 menit kemudian, Adzra akan mendekati saya. “mommy, you know what I learn about reading. Books tell you good things. Pertanyaan-pertanyaan lain akan selalu mengalir selama dia sedang menatap buku. “What’s the meaning of this?”,  “how do you read this?”

Saya sering harus menghentikan mengetik atau membaca buku referensi bila Adzra mulai interupsi. Tapi tentu saja saya harus menahan diri untuk tidak menuruti ego saya, dan tidak mengatakan, “sana nduk, ibu lagi kerja” (seberapapun saya ingin mengunci diri di kamar, tapi tidak pernah saya lakukan). Super-ego saya bilang, ‘Tuh anakmu lagi tanya. Critical thinking-nya sedang bekerja. Jangan menganggap ini  interupsi.”

Heh, teori dan praktik memang harus diselaraskan. Ngobrol tentang buku memang harus dilakukan. Ini kata pakar literasi, David Barton tentang percakapan tentang kegiatan membaca. Kegiatan membaca cerita amat penting bukan karena isi bukunya. Lebih penting lagi, percakapan yang terjalin justru lebih kaya, beragam, dan kompleks daripada lumrahnya percakapan sehari-hari. Percakapan tentang kegiatan membaca dan/atau menulis adalah metalanguage dari literasi.

Metalanguage bisa dipahami sebagai bahasa yang digunakan untuk menyampaikan pernyataan tentang pernyataan dalam bahasa lain (teks, simbol, tanda). Jangan bingung ya. COba kita simak apa yang Adzra bilang kemarin setelah membaca buku, My Qur’an Friends, “mommy, this book tells me that you have to be kind to your friends.” Adzra menggunakan bahasa lisan untuk menyampaikan pemahamannya tentang isi cerita dalam bahasa tulis.

Dari pengalaman ini kita bisa melihat bahwa buku memberikan stimulus pada anak untuk mengasah kemampuannya menyampaikan gagasan. Dari kalimatnya saya juga bisa menilai bahwa Adzra bisa membuat ringkasan isi cerita yang dia baca. Yang ini terus terang sering juga saya ‘uji’kan. Meskipun Adzra sudah menjadi pembaca mandiri (membaca sendiri dalam hati, tidak terintimidasi oleh tebalnya buku atau absennya gambar dalam buku), saya masih rutin membacakan buku. Bagi saya, story time haruslah tetap dilakukan meski anak sudah bisa membaca sendiri (lihat tulisan saya yang lain di sini). Biasanya setelah selesai membaca, saya memberikan pertanyaan tentang isi cerita. Baik yang explicit maupun inferential questions. Seperti comprehension questions begitulah. Tujuannya tidak cuma sekedar mengetes apakah jawabannya benar , namun juga menjalin percakapan tentang buku itu sendiri. Cara ini penting sekali untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif.

Mendalami kajian literasi membuat saya semakin sering melakukan ‘penelitian otoetnografi’ terhadap kehidupan saya sendiri. Anak-anak jadi subjek penelitian saya, saya cobakan teknik ini itu, dan saya catat dalam tulisan anekdot seperti yang sedang saya lakukan ini. Boleh dikata, apa yang sedang saya lakukan ini adalah contoh lain dari metalanguage dalam literasi. Saya menggunakan bahasa tulis untuk menyatakan persepsi saya tentang pengalaman literasi Adzra yang melibatkan bahasa lisan dalam mengungkapkan pemahamannya tentang bahasa tulis (This sentence can go on and on and on….).

Ada banyak cara untuk membangun minat anak dalam membaca. Saya menuliskan beberapa tips di sini. Yang penting, mari sisihkan waktu membaca dengan anak kita.

By the way, saat mengakhiri tulisan ini, saya sempatkan menengok ke pojok Adzra. “what are you doing?” Kursi besar yang dia duduki menutupi posturnya yang langsing.

“Ssst.”

Hmm, like mother like daughter.