Every object tells a story. Begitu judul buku yang baru saya pinjam dari perpustakaan kampus. Masih ingat cerita saya tentang simposium literasi di UNSW Sydney? Prof. Bill Green, seorang pakar literasi menyebut makalah saya beberapa kali saat beliau menyampaikan keynote speech-nya. Usai acara, saya ucapkan terima kasih atas apresiasinya. Dan saya diberi masukan untuk mencari tulisan-tulisan Kate Pahl untuk memperkuat argumen tesis saya.
Begitulah awalnya. Nama Kate Pahl saya cari di google. Tahulah saya mengapa Bill Green merujuk pada nama baru ini. Ternyata banyak penelitiannya mengangkat peran artefak budaya dalam praktik literasi. Baik di ranah pendidikan formal maupun di komunitas.
Teman dan kolega saya, Prof. Lies Amin Lestari, guru besar Pendidikan Bahasa Inggris Unesa, pastilah akan senang membaca tulisan saya ini. Kate Pahl adalah peneliti senior dan pakar literasi dari the University of Sheffield di Inggris. Setidaknya beliau akan bangga mengetahui bahwa alma maternya memiliki pusat pendidikan literasi yang mapan.
Segera saya cari buku-buku tulisan atau editan Kate Pahl. Ternyata saya malah sudah baca beberapa di antaranya. Hanya saja saat itu belum ngeh dengan teorinya dan reputasi penulisnya. Buku yang baru saya temukan itu, Every object tells a story, belum pernah saya lihat di rak buku-buku literasi yang sering saya kunjungi. Lha memang bukunya ditaruh di rak buku-buku tentang pembelajaran Bahasa Inggris.
Buku terbitan 2010 ini ditulis oleh Kate Pahl dan Jennifer Rowsell. Mereka mengajukan sebuah konsep baru yang disebut sebagai Artifactual Literacies. Alamak. Apa pula ini? Di tesis, saya sudah mengupas tuntas peran cultural artifacts dalam mengubah identitas seseorang menjadi manusia yang lebih berharga di mata masyarakat. Apa saya perlu menambahkan atau merevisinya? Nuruti baca kajian teori tentang literasi gak akan habis.
Pertanyaan saya terjawab setelah saya baca cepat buku ini tadi malam. Begitulah dunia akademik. Konsep yang hampir sama bisa diolah kembali. Istilah baru dipakai. Temuan di lapangan semakin memperkaya pemahaman. Bila konsep ini dibahas di obrolan akademik di tanah air, bisa saja komentar seperti ini muncul, “ah, gak ada yang baru.” Memang tidak ada yang betul-betul baru dalam perbincangan akademik, terutama di bidang humaniora. Yang ada adalah perspektif baru dalam melihat satu fenomena sosial budaya. Hal yang selama ini kita anggap lumrah dan sepele diangkat ke alam sadar. Satu hal yang biasa saja menjadi unik. Dan keunikannya menjadikannya penting untuk disimak.
Sekedar meringkas konsep Artifactual Literacies, atau literasi artefak (literasi berdasarkan objek nyata). Pandangan ini menyatakan bahwa setiap benda konkret pasti punya cerita. Kisah yang terkuak di balik benda inilah yang kemudian membawa ke isu identitas, relasi kekuasaan, masalah psikologis, sosial, politik, dan sebagainya.
Kisah tentang benda itulah menjadi bukti terjadinya literasi. Teks yang tercipta bermode jamak. Bisa dalam bentuk tulis/cetak, digital, gambar, suara, gerakan. Ini membawa kita ke multimodal literacies. Dengan demikian literasi bukan lagi sekedar baca-tulis. Kita bisa mengatakan ‘membaca gambar,’ atau ‘membaca gerakan.’ Dan bukankah membaca itu sebenarnya adalah mengamati dengan seksama.
Mau bukti bahwa setiap benda punya cerita? Coba tengok di sekitar Anda. Raihlah satu benda milik Anda yang layak diceritakan. Anda juga bisa memikirkan tentang satu benda milik Anda/keluarga yang memiliki makna khusus. Ah…saya jadi ingat koleksi shot glasses yang saya pajang di ruang tamu di rumah saya di Kebraon. Saya bisa bercerita panjang lebar tentang tiap gelas seloki itu. Sengaja saya membeli tiap gelas di kota-kota atau negara bagian yang sudah saya singgahi. Illinois. Missouri. Kentucky. Atlanta. Georgia. Memphis. Minnesota. Colorado. Chicago. Los Angeles. Hollywood. San Antonio. Texas. Tulisan itu terpahat di tiap gelas. Pamer? Saya tidak melihatnya seperti itu. Gelas-gelas itu menjadi saksi petualangan saya selama studi di AS. Tentang road trip saya dengan mbak Cynthia, seorang teman dari LIPI. Kami berkendara melewati setidaknya 7 negara bagian.
(Saat di Lookout Mountain, Georgia. Katanya 7 negara bagian: Tennessee, Kentucky, Virginia, South Carolina, North Carolina, Georgia, dan Alabama bisa dilihat dari titik ini).
Cerita tentang shot glasses juga mengungkap kenekadan saya menginap sendirian di hotel backpacker di jantung Hollywood. Tepat di seberang Hollywood subway station. Tidak jauh dari Kodak Theater, di mana perhelatan Oscar diadakan tiap tahun. Mumpung sedang ikut TESOL Convention di Long Beach, California, sekalian saja cari cara ke Hollywood.
Cerita tentang gelas-gelas itu menjadi berbeda ketika saya berada di Melbourne sekarang. Saya memang masih tetap mengoleksi gelas bertuliskan Melbourne. Lebih dari satu malahan. Namun saya tidak lagi melihat diri saya seperti turis yang berpetualang seperti dulu. Gelas-gelas itu seakan mengingatkan saya terhadap hari-hari kerja di lapak di Victoria Market. Saya adalah mahasiswa S3, sekaligus ‘buruh migran.’ Dan saya tidak sendirian. Lapak souvenir di Vicmart praktis memiliki ‘pegawai’ Indonesia paling banyak. Di Indonesia, bisa jadi mereka adalah dosen, staf eksekutif bank terkenal, pegawai pemerintahan atau pengusaha. Di sini, semua atribut sosial ditanggalkan. Gelas-gelas dan souvenir a la Australia itu adalah simbol perjuangan kami untuk bisa hidup di negeri orang. Saya bahkan tahu harga dasar gelas-gelas itu di pasar tradisional atau toko obralan. Itulah sebabnya saya tidak membeli gelas bertuliskan Sydney saat menyempatkan diri ke Sydney Opera House. Alamak. Barang grosiran buatan Cina kok dilabeli harga butik.
Koleksi shot glasses saya baru bertambah dengan tulisan Sydney, ketika saya berkesempatan berkunjung ke kota terbesar di Australia ini untuk kedua kalinya. Kali ini saya pergi bersama keluarga untuk liburan akhir tahun 2014. Salah satu tempat yang kami kunjungi adalah Paddy’s market, pasar tradisional di Sydney CBD. Tahu tidak, salah satu motivasi mendatangi pasar ini adalah untuk ‘studi banding,’ hehe. Membandingkannya dengan Victoria Market di Melbourne. Ternyata banyak kesamaannya. Salah satunya adalah para staf di toko souvenir yang kami datangi. Lha kok orang Indonesia juga. Ganta, anak saya yang paling gede, yang baru lulus SMA, saat ini sedang bekerja paruh waktu di toko souvenir di Victoria Market. Mendengar celetukan bahasa Indonesia dari penjual dan sebagian pembeli di Paddy’s Market, dia cuma ngakak. “Walah podho ae.”
Cerita tentang benda adalah kisah tentang identitas. Tentang perjalanan. Tentang pengakuan diri. Tentang kegembiraan. Tentang penyesalan. Tentang hikmah kehidupan. Maka jangan heran bila kelas-kelas kepenulisan di lembaga seperti Sirikit School of Writing semakin diminati. Bagi saya, animo bergabung ke kelas menulis seperti itu bukan sekedar karena seseorang ingin belajar menulis. Mereka sebenarnya adalah jiwa-jiwa yang ingin didengar. Dan ketika jari-jemari lincah bermain di atas keyboard komputer, saat itu juga terbanglah jiwa-jiwa itu dengan bebas. Menulis memang membebaskan. Dan suara mereka telah diabadikan.
Catatan: Versi lama dari tulisan ini menjadi salah satu artikel dalam dari buku Boom Literasi (2014).