Dua hari terakhir ini saya mendapat kiriman tulisan testimonial dari dua guru. Icha, guru SMPN 2 Kedungadem Tuban dan Uut, guru SMP Khadijah 2 Surabaya, telah sama-sama memulai kegiatan Sustained Silent Reading di kelas masing-masing. Cerita tentang kegiatan SSR dan foto-fotonya bisa dibaca di sini dan juga di sini.

Berangkat dari hobi membaca mereka sendiri secara pribadi, dan tanggung-jawab mereka sebagai guru bahasa Inggris, Icha dan Uut ‘nekad’ menjalankan SSR dengan modal buku terbatas. Icha mengaku sepenuhnya menggunakan koleksi pribadinya. Menurutnya, koleksi perpustakaan sekolah entah raib ke mana. Uut sendiri beruntung bisa meminta siswa membawa koleksi buku pribadi mereka. Meski begitu, Uut tetap siap dengan koleksi pribadinya sendiri, jaga-jaga bila ada siswa yang tidak membawa buku. Strategi Icha dan Uut menunjukkan bahwa syarat utama agar SSR berjalan baik adalah dengan menyediakan akses terhadap buku. Ke depan, Icha dan Uut bisa mulai mengajak siswa untuk membangun reading corner di kelas masing-masing.

Meski barangkali kondisi sekolah di mana Icha dan Uut bertugas ada perbedaan (Icha di sekolah negeri di kota kecil, dan Uut di sekolah swasta Islam yang cukup berkualitas), ada kesamaan yang membuat program SSR mereka berjalan dengan lancar. Padahal kalau dihitung-hitung, mereka berdua baru menjalankannya kurang dari 5 bulan. Dari banyak referensi yang saya baca, butuh setidaknya 4-5 bulan untuk membentuk kebiasaan membaca pada anak agar bisa bertahan lama.

Baik Icha maupun Uut menerapkan modelling sebagai kunci keberhasilan SSR. Mereka berdua ikut membaca dalam kurun waktu 15 menit. Sebagaimana pengakuan mereka, bahkan Icha dan Uut sendiri ikut tenggelam dalam buku mereka masing-masing. Tak heran dalam perjalanannya, waktu 15 menit dianggap kurang oleh siswa mereka.

Menurut Cracken & Cracken (1978) dalam artikel berjudul “Modeling is the Key to Sustained Silent Reading,” kunci utama keberhasilan SSR adalah teladan yang baik. Tanpa teladan dari guru atau orang dewasa yang ada di ruangan di mana SSR berlangsung, jangan harap SSR akan bisa dipertahankan dalam jangka waktu lama. Dalam penelitian di atas, kebanyakan SSR yang tidak berhasil disebabkan oleh peran guru yang memonitor siswa (tapi tidak membaca), dan anak-anak yang dianggap bermasalah juga tidak membaca. Dalam kesimpulan Cracken & Cracken, SSR bertahan lama hanya bila siswa tahu bahwa guru mereka sendiri adalah seorang pembaca yang serius, yang tidak mudah ‘goyah’ hanya karena gangguan-gangguan kecil. Di banyak penelitian lain, malah siswa sendiri yang kemudian mengambil peran menyuruh temannya diam bila ada yang mulai bersuara. “ssst, waktunya membaca.”

Percayalah, yang suka mengamati tidak hanya guru. Bahkan siswa sendiri akan mengamati kebiasaan dan perilaku guru saat membaca. Guru yang suka garuk-garuk rambut saat membaca bisa jadi akan ditiru siswa. Guru yang suka berbagi isi buku yang baru dibacanya akan menginspirasi siswa untuk melakukan hal yang sama. Mungkin Icha dan Uut bisa mulai mengamati apakah kebiasaan mereka dalam membaca juga mulai direkam oleh siswa-siswi mereka.

Setidaknya, pengalaman ini saya rasakan sendiri dengan kedua anak saya. Bila dulu saya yang mengingatkan anak-anak untuk membaca bersama pada sore hari, sekarang gantian Ganta yang mengajak Adzra untuk membaca. “ayo, reading time.” Tidak perlu pakai ngobrak-ngobrak, karena kebiasaan ini memang sudah kami lakukan tiap hari. Terus-terang, butuh berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun untuk sampai di titik ini. Di titik di mana saya mulai menemukan ketertarikan Ganta terhadap buku. Bila dia menemukan sesuatu yang menarik di dalam bukunya yang dibaca, dia akan menceritakan pada saya. Biasanya di situlah dimulai diskusi (kadang debat) tentang interpretasi isinya. Seperti tadi malam, saat Ganta membaca buku The Secret of Freemasonry.

Adzra sendiri mulai suka menuangkan apa yang dia baca ke dalam tulisan. Di mana-mana saya gampang menemukan coretan Adzra tentang apapun yang pernah dia baca atau alami. Meski itu hanya sekedar, “I love Matilda because she likes to read. I wanna be like her.” Atau juga daftar kata baru yang dia tuliskan di bukunya. Ini dia lakukan setelah nonton film The Book Thief. Karakter utamanya, Nelisse, anak perempuan Jerman, belajar membaca dari kata-kata baru yang ditulis ayah angkatnya di ruang bawah tanah rumah mereka. Adzra meniru kebiasaan Nellise, dengan merekam kata-kata baru yang dia temukan di buku. Adzra juga suka membuat tulisan di powerpoint (dia selalu menggunakan istilah keynote, karena terbiasa dengan Macbook di kelas). Seperti tadi pagi setelah usai membaca buku tentang Clouds, home reading dari sekolah, dia membuka laptop dan membuat file baru. Dia bilang pada saya, “can I do recount, mommy?” Untung ibunya sudah tahu apa itu genre recount. Dia mau menceritakan kembali isi buku secara kronologis.

Beberapa catatan di atas menunjukkan bahwa SSR bisa dilakukan di sekolah maupun keluarga. Kuncinya: jadilah model yang baik baik anak dalam menumbuhkan kebiasaan membaca. Kunci yang tak kalah penting adalah sabar dalam menunggu perkembangan SSR di kelas dan keluarga. Selama akses terhadap buku dibuat mudah dan beragam, kita bisa optimis kebiasaan membaca akan tumbuh dengan baik dan bertahan lama di sekolah dan keluarga kita masing-masing. Teman-teman yang memiliki keluarga yang cinta baca akan merasakan hal yang sama.

Ayo tularkan virus membaca!