Oleh: Icha Hariani Susanti (guru SMPN 2 Kedungadem Tuban)

Icha

Demam literasi sedang melandaku. Aku tertular demam ini setelah banyak bergaul (via milis Ganesa) dengan para seniorku dari Unesa. ada Satria Darma, Much Khoiri, Eko Prasetyo, dkk serta dedengkot SSR Pratiwi atau yang biasa aku panggil bu Tiwik. Mereka semua begitu getol mengampanyekan pentingnya budaya baca terutama bagi anak-anak usia sekolah. tak hanya itu, mereka juga menularkan ilmu-ilmu yang mereka punya terkait pengembangan kegiatan membaca dan pemberdayaan perpustakaan pribadi ataupun sekolah. Tak butuh waktu lama bagiku untuk “terinfeksi” virus ini, yang kemudian aku tularkan semua ke anak didikku di sekolah.
Kegiatan SSR aku mulai semenjak awal semester ini. Sebagai awalan, yang aku jadikan sasaran uji coba pemberlakuan kegiatan ini adalah siswa siswi SMPN 2 Kedungadem, khususnya kelas 7a-b dan 9a-d, kelas yang aku ampu. Aku memperkenalkan kegiatan ini kepada anak-anak sebagai kegiatan membaca untuk bersenang-senang. Mula-mula aku pancing mereka dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kegiatan membaca yang mungkin selama ini sudah mereka lakukan. Hasilnya? So surprising….. ternyata 99% dari mereka tidak punya habit membaca sama sekali. Mereka bahkan hampir tidak pernah masuk perpustakaan sekolah kecuali untuk meminjam dan mengembalikan buku pelajaran. Itu berarti mereka hanya masuk perpustakaan dua kali dalam setahun. Sungguh menyedihkan.

Aku pun memulai kegiatan ini dengan memperkenalkan “apa SSR itu”. Aku katakan kepada mereka bahwa sejak hari ini mereka aku beri kesempatan membaca buku-buku yang aku punya: buku cerita, novel KKPK, komik, buku pengetahuan anak-anak dsb. Seminggu dua kali, dalam jam pelajaran yang aku ampu, mereka bisa membaca buku-buku itu selama 15 menit. Mereka boleh memilih buku yang mereka suka, membacanya dalam hati (silent reading), setiap anak satu buku. Jika waktu 15 menit telah berakhir, mereka harus segera mengembalikan buku-buku itu. Mereka boleh membaca lanjutan buku itu lagi ketika jam tatap muka berikutnya (sustained). Mereka boleh dengan bebas memilih tempat yan mereka suka selama membaca buku itu: di pojok kelas, di bangku, di lantai, dimana pun selama tidak mengganggu teman yang lain. Satu hal penting lagi, aku sampaikan pada mereka bahwa aku tidak akan memberi tugas apapun yan berhubungan dengan kegiatan membaca ini. “Kegiatan ini murni untuk refreshing, menyegarkan otak kalian” begitu aku sampaikan kepada mereka.
Anak-anak antusias sekali mendengar program baru yang aku sampaikan itu. Segera aku menunjuk dua orang di dalam kelas yang bertanggung jawab mengambil, menghitung, dan mengembalikan buku-buku itu. Begitulah, sejak saat itu, anak-anak punya kegiatan baru dalam kelas bahasa Inggrisku: membaca. Begitu bel tanda pelajaran bahasa Inggris dimulai, tanpa aku komando, dua orang anak yang sudah aku tunjuk segera mengambil buku-buku bacaan di mejaku. Mereka membawanya ke dalam kelas, dimana teman-temannya sudah menunggu. Begitu buku datang, mereka segera menyerbu kurir pembawa buku. Segera setelah itu mereka hanyut dalam kegiatan membaca. Sering aku merasa geli melihat mereka berebut buku yang menarik minat mereka. Tak jarang aku ikut turun tangan menyelesaikan masalah rebutan buku itu. Akhirnya, aku pun terpaksa membuat peraturan “Anak yang pertama kali membaca buku itu punya hak untuk membacanya hingga selesai, meski itu memakan waktu berminggu-minggu. Siswa lain tidak boleh merebutnya kecuali temannya itu sudah tidak berminat lagi membaca buku itu.”

Biasanya, usai jam membaca, aku sempatkan menanyai beberapa anak tentang buku yang sudah mereka baca. Beberapa pertanyaan standar yang sering aku tanyakan adalah:
1. Buku apa yang kamu baca?
2. Bagaimana isinya? Baguskah?
3. Apakah kalian senang membaca cerita itu? Dsb.

Hampir semua anak mengatakan bahwa mereka suka sekali dengan kegiatan membaca itu. Beberapa bahkan memberi komentar tentang isi buku yang mereka baca. Menegangkan, kasihan sekalii, lucu, dan komentar-komentar lain mereka berikan secara berebut. Satu hal yang membuat aku bangga dan senang adalah saking asyiknya mereka membaca, mereka tidak mau berhenti meski jam membaca telah berakhir.
“Oke guys, jam baca sudah habis. Segera kembalikan buku-buku ke meja depan. Kita akan segera memulai pelajaran kita” begitu aku mengingatkan mereka setiap jam baca berakhir. Namun apa jawab mereka?
“Sebentar bu. Dikiiittt….lagi. Lagi nanggung nih.”
Dan kalau sudah begitu aku jadi tidak tega memutuskan keasyikkan mereka. Dengan sedikit berat hati aku tambahkan waktu lima menit lagi. Tapi kali ini tidak bisa ditawar. Begitu waktu tambahan lima menit berakhir, segera aku minta mereka mengakhiri kegiatan mereka. Biasanya mereka menurut tapi dengan embel-embel, “Hari Rabu baca lagi ya Buuuu….” Aku mengangguk sambil tersenyum. Senang sekali aku melihat antusiasme mereka. Oya, satu hal lagi, sejak adanya kegiatan SSR itu, jika ada jam kosong dan guru yang tidak hadir tidak meninggalkan tugas, anak-anak pun merengek minta dipinjami buku. Tentu saja dengan senang hati aku pinjamkan buku-buku itu.

Kini anak-anak sudah punya kebiasaan baru, membaca. Aku ingin sekali kebiasaan ini bisa menular ke kelas-kelas lain yang belum tersentuh olehku. Untuk itu, aku sudah mengajukan program kepada Kepala Sekolahku agar kegiatan SSR ini menjadi kegiatan resmi sekolah, masuk dalam jam tatap muka. Rencananya, anak-anak akan mendapat jam membaca sebanyak 1 jampel. Kegiatan ini bisa dilakukan di perpustakaan sekolah (sekaligus mengefektifkan keberadaan perpustakaan), dengan dipandu oleh guru BK yang memang punya banyak waktu luang. Semoga program yang aku ajukan ini disetujui oleh KS-ku sehingga mulai tahun ajaran baru nanti sekolahku resmi punya program SSR.

Hhmm….rasanya tidak sabar menunggu hal itu terjadi…

SSR-icha1 SSR-icha2 SSR-icha3