Pagi ini saya menikmati obrolan yang bernas dengan para alumni Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris di sebuah WAG. Diskusi kami  berawal dari pertanyaan seorang alumni yang mengajar di sebuah SMP negeri di bilangan Sidoarjo. Dia bertanya tentang kegiatan 15 menit membaca. Apakah kegiatan ini hanya alternatif GLS ataukah kegiatan utama? Dia memperoleh informasi ini dari Kepala Sekolahnya yang kebetulan mengikuti pelatihan instruktur propinsi. Menurut Kepala Sekolahnya, kegiatan 15 menit membaca hanyalah satu alternatif GLS.

Saya menjelaskan bahwa kegiatan 15 menit membaca adalah kegiatan utama dalam tahap pembiasaan. Bentuknya bisa membaca dalam hati bersama-sama atau membacakan cerita. Yang lebih penting adalah bagaimana membangun tahap pembiasaan sesuai prinsip.

Obrolan kami semakin menarik ketika para alumni mulai berbagi tentang praktik literasi di sekolah masing-masing. Satu contoh yang luar biasa datang dari Ana yang saat ini mengajar di sebuah Sekolah Dasar Regents di Denpasar, Bali. Sekolah ‘R’ ini adalah sekolah nasional plus yang terbilang baru. Sekolah baru berjalan selama 6 tahun dan menerapkan kurikulum nasional dan Cambridge. Saat ini sekolah tengah menjalankan program yang disebut dengan D.E.A.R. (Drop Everything and Read). Ini nama lain yang biasanya dipakai untuk mengacu pada program membaca dalam hati seperti Sustained Silent Reading (SSR). Di dalam Panduan Gerakan Literasi Sekolah, program ini diadaptasi menjadi bagian dari pembiasaan 15 menit membaca.

Saya akan merekap testimony Ana dengan menggunakan 8 prinsip kegiatan membaca dalam hati dalam tahap pembiasaan. Prinsip ini dicantumkan dalam Panduan GLS Kemdikbud. Sekolah ‘R’ juga menggunakan Panduan GLS tingkat SD sebagai salah satu rujukan.

  1. Akses terhadap buku

Meskipun Sekolah ‘R’ sekolah nasional plus, koleksi perpustakaannya masih belum banyak. Begitu penuturan Ana. Buku-buku untuk program D.E.A.R dibawa sendiri oleh siswa dari rumah. Setelah selesai mereka bisa berbagi atau tukar buku dengan temannya.

 

Perpus mini
Perpustakaan sederhana (dokumen Ana)
  1. Siswa memilih sendiri buku yang ingin dibaca

Siswa di sekolah ‘R’ memilih sendiri buku yang mereka baca, sesuai dengan minat masing-masing, baik itu fiksi maupun nonfiksi. Yang penting ada target bahwa bukunya terselesaikan.

  1. Lingkungan yang kondusif

Sekolah ‘R’ memang didukung oleh fasilitas yang cukup baik dan staf guru yang masih muda, berkualitas dan bersemangat belajar. Sebagian gurunya adalah native speakers karena bahasa pengantar di sekolah adalah bahasa Inggris. Meskipun hal ini tidak perlu dijadikan patokan keberhasilan program GLS. Yang penting adalah persepsi yang sama tentang pentingnya program literasi di antara para staf di sekolah.

  1. Disediakan waktu membaca secara berkala

Pada semester 1, sekolah ‘R’ menyisihkan waktu sebanyak 10 menit sebelum pelajaran dimulai. Sementara itu, pada semester 2 diubah menjadi setiap pukul 10 selama 15 menit. Apapun yang dilakukan oleh guru dan siswa di kelas, semuanya akan berhenti dan memulai membaca pada pukul 10 pagi. Untuk menandai dimulainya sesi D.E.A.R, sekolah memutarkan lagu tertentu untuk tanda mulai membaca 15 menit.

DEAR at ICT class
D.E.A.R. di jam pelajaran ICT (dokumen Ana)
  1. Guru ikut membaca untuk memberikan keteladanan

Di sekolah ‘R’, bahkan semua guru, staf sampai petugas kebersihan wajib sampai petugas kebersihan juga wajib ikut D.E.A.R. Prinsip ini memang amat penting dilakukan. Saat ini Ana memegang mata pelajaran ICT (meski dia alumni jurusan Bhs. Inggris). Di mata Ana, GLS akan berjalan bila persepsi semua staf sekolah sama. Tantangannya adalah bagaimana membangun mindset akan pentingnya program membaca. Dalam banyak penelitian, keteladaan guru dan staf adalah kunci keberhasilan program membaca.

Di banyak sekolah, guru tidak ikut membaca, atau diserahkan kepada petugas perpustakaan yang dianggap bertanggung-jawab atas program Kurikulum Wajib Baca. Ada juga yang menganggap bahwa program membaca ini hanya berlaku untuk guru Bahasa. Ada pula curhatan seorang Kepala Sekolah kepada saya. Beliau merasa dimusuhi ketika mengajak para guru melaksanakan GLS.

Di sekolah ‘R’, prinsip ini dapat terjaga karena beberapa faktor. Menurut penuturan Ana, pemilik sekolah adalah lulusan luar negeri dan mencoba menerapkan praktik literasi yang baik di luar negeri untuk diterapkan di sekolahnya. Selain itu, kepala sekolahnya kebetulan adalah kutu buku. Tentu saja program ini menjadi lebih mudah dijalankan karena motivasinya internal, dan bukan semata-mata untuk pencitraan sekolah.

  1. Tidak ada tagihan tugas

Hal yang patut diacungi jempol adalah konsistensi sekolah ‘R’ untuk tidak memberikan tugas apapun setelah membaca. Para guru yang expatriat juga tidak setuju dengan adanya tagihan. Ini persis dengan komentar teman saya, Jonnie Hill, yang mengajar di sekolah nasional plus di bilangan Pakuwon City Surabaya. Tagihan tidak boleh diberlakukan bila ingin membangun kebiasaan membaca karena akan kontraproduktif.

Di sekolah ‘R’, yang dilakukan siswa adalah mengisi jurnal harian. Mereka menyebutnya reading log. Kebetulan yang dibaca adalah buku-buku berbahasa Inggris. Ini adalah contoh-contoh reading log.

Untuk memberikan motivasi kepada siswa dan mendorong kompetisi sehat antar kelas, reading log dibuat dalam bentuk tempelan di dinding dengan berbagai pola. Tempelan  reading log di dinding membuat siswa merasa tertantang ketika kelas lain sudah membaca lebih banyak buku.

display 1           display 2

  1. Kegiatan tindak lanjut

Meskipun tidak ada tagihan membuat ringkasan, sekolah ‘R’ menerapkan berbagai kegiatan yang sifatnya untuk memberikan motivasi kepada siswa. Sesekali ada tanya jawab ringan tentang buku yang dibaca. Sekolah juga baru saja menyelenggarakan Bookweek. Salah satu tujuannya untuk merayakan tercapainya tujuan membaca 1000 buku semester ini. Ada acara character day. Semua kostumnya handmade untuk penghematan. Baik siswa maupun guru juga wajib mengenakan kostum karakter buku. Ada juga acara drama dengan cerita Charlie and the Chocolate Factory, diskusi buku, dan lain-lain. Menurut Ana, para siswa amat menyukai agenda ini.

play
Drama Charlie and the Chocolate Factory oleh siswa (dokumen pribadi Ana)

 

bookcharacter
Guru-guru ikut parade kostum karakter buku (dokumen pribadi Ana)
  1. Pelatihan staf

Salah satu faktor yang dapat memperkuat proses GLS adalah adanya pelatihan untuk para guru dan staf. Sekolah ‘R’ memiliki program Professional Development. Salah satu tema yang dibahas adalah program membaca dan bagaimana melaksanakannya di sekolah. Wakil kepala sekolah bidang kurikulum turun langsung untuk mengawal program ini. Semua guru dipahamkan dulu tentang pentingnya GLS dan diyakinkan bahwa mereka dapat melakukannnya. Selain mengacu kepada Panduan GLS Kemdikbud sebagai salah satu rujukan, sekolah juga  tidak ingin terburu-buru pindah ke tahap berikutnya sebelum kebiasaan membaca terbentuk dengan kuat. Salah satu hal yang dilakukan untuk persiapan GLS tahun depan adalah memohon masukan dari para guru tentang daftar buku yang akan dibaca siswa.

Kegiatan GLS di sekolah ‘R’ ini luar biasa. Kalau ditilik kegiatan yang mereka lakukan, sebenarnya malah mereka sudah masuk ke tahap pengembangan. Saya bahkan yakin bahwa kegiatan pembelajaran yang mereka lakukan sudah menerapkan berbagai strategi literasi dalam pembelajaran. Saat ini sekolah ‘R’ tengah melaksanakan program GLSnya sebagai berikut:

  • membuat Mini Library di kelas-kelas. Anak-anak diminta membawa buku dari rumah untuk dibaca dan sharing di kelas);
  • menetapkan 1 jam mata pelajaran Library Time (di luar 15 menit membaca tiap hari);
  • membuat program membaca dengan target membaca 1000 buku per semester;
  • membuat Reading Log untuk merekam  data target membaca
  • melaksanakan program D.E.A.R. (15 menit membaca tiap hari)
  • menerapkan kegiatan read aloud (membacakan cerita oleh guru) 1x seminggu oleh para guru bahasa (EL, BI, Bali)
  • menerapkan program literasi media n Teknologi untuk siswa kelas 5 dan 6. Mereka memiliki blog di kidblogs.org;
  • mengadakan Community Service dengan melakukan kegiatan read aloud ke salah satu TK pilihan oleh siswa
  • menyumbangkan buku ke sekolah lain.

Contoh praktik yang baik di sekolah ‘R’ ini menunjukkan bahwa persepsi yang sama tentang program GLS sangat penting untuk dibangun dan dipahami oleh segenap unsur sekolah. Selain itu, panduan yang ada memang harus dibaca dan didiskusikan bersama. Sekolah dapat dan bahkan didorong untuk mengadaptasinya sesuai dengan kondisi sekolah, asalkan prinsip utama tetap terjaga. Dengan demikian kita bisa melihat bahwa ketika prinsip-prinsip ini betul-betul diperhatikan dan dilaksanakan, hasilnya akan luar biasa.

Tidak harus menunggu dana besar atau fasilitas lengkap untuk memulai program GLS di tahap pembiasaan. Dibutuhkan lebih banyak catatan praktik yang baik GLS di sekolah-sekolah lain. Kunci keberhasilan GLS adalah adalah pola pikir yang sama tentang filosofi dan strateginya. Bersama kita bisa membawa anak didik kita menjadi generasi yang lebih literat.

Rencanakan dan laksanakan!

Kebraon, 1 Mei 2017