Abstrak

Selama ini, pandangan yang dominan di dunia pendidikan adalah bahwa literasi merupakan alat untuk mencerdaskan bangsa dan mengubah tananan sosial menjadi lebih modern. Meskipun tidak salah, pandangan ini terkesan netral dan universal, diasumsikan berlaku untuk semua masyarakat, dan akibatnya mereduksi makna dan fungsi literasi yang kompleks dalam kehidupan sehari-hari. Tulisan ini berupaya menawarkan pendekatan yang berbeda terhadap kajian literasi. Literasi perlu dimaknai sebagai praktik sosial yang erat menempel pada keseharian kita. Beragamnya makna dan fungsi literasi dibentuk oleh hubungan kekuasaan dan relasi sosial orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Kata kunci: literasi – praktik sosial – hubungan kekuasaan

Pendahuluan

Tidak perlu disangkal bahwa di masyarakat manapun, keberadaan perpustakaan dan perkembangan literasi merupakan penanda peradaban. Di dunia sendiri, abad ke-18 sering disebut sebagai jaman Pencerahan, yang salah satunya ditandai dengan perkembangan perpustakaan dan literasi (McGarry, 1991).

Ketika dunia Barat masih berada di Jaman Kegelapan, peradaban Muslim sudah lebih dulu berjaya di Abad Pertengahan, terutama antara abad ke-7-13, di mana kota Baghdad dan Spanyol era Muslim menjadi pusat ilmu pengetahuan. Pada jaman Abbasiyah di abad ke-9, Baghdad memiliki Baitul Hikmah, perpustakaan dan pusat studi yang menarik perhatian para ilmuwan dari dunia barat untuk menimba ilmu ke Timur. Ambil contoh juga Andalusia (Spanyol era Muslim) yang menempatkan kota Cordova sebagai kota metropolitan dengan perpustakaan umum yang amat besar, dengan koleksi lebih dari 440.000 buku. Di bawah kepemimpinan Sultan Abdul Rahman III (berkuasa pada tahun  912-929), Cordova berkembang menjadi pusat pembelajaran, dengan banyaknya masjid yang sekaligus berfungsi sebagai pusat pendidikan. Bahkan antara abad ke-9-15, peradaban Islam mencapai puncaknya di Spanyol, dengan Grenada, Seville, dan Toledo berfungsi sebagai pusat peradaban.

Dalam agama Islam, pentingnya literasi tercermin dari lima ayat pertama dalam surat Al-Alaq, sebagai ayat-ayat Al-Qur’an yang pertama kali diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Allah SWT menyerukan pentingnya iqra’ (baca), dan kelima ayat ini ditafsirkan berposisi amat kuat sebagai justifikasi perlunya perubahan budaya dari lisan ke tulis. Allah menurunkan Al-Qur’an untuk umat manusia bukan hanya untuk dibaca dan dibaca kembali. Lebih dari itu, Al-Qur’an mendorong manusia untuk mengubah kebiasaan percaya mitos dan tahayul, yang merupakan salah satu ciri budaya lisan, menjadi masyarakat berbudaya literasi, yang terus berproses membaca dunia secara lebih ilmiah, dengan tetap mengacu kepada ketentuan Allah SWT (Kazmi, 2005).

Model Pendekatan Literasi

Melihat sentralnya posisi literasi baik di dunia Barat maupun agama Islam, barangkali kita tak habis bertanya mengapa minat baca di kalangan masyarakat di Indonesia begitu rendah, sedangkan tingkat melek aksara di Indonesia sudah amat tinggi. Data Bank Dunia 2007 menunjukkan tingkat melek aksara orang dewasa di Indonesia mencapai 90%. Ada banyak faktor yang mendasarinya. Salah satunya adalah anggapan umum di masyarakat bahwa literasi berarti bisa membaca dan menulis. Begitu seorang anak bisa membaca dan menulis, maka tercapailah tujuan membebaskan bangsa dari kebuta-aksaraan. Itulah sebabnya literasi belum menjadi bagian penting dalam kurikulum pendidikan nasional. Itulah mengapa masyarakat lebih suka ngobrol dan menonton televisi daripada membaca buku. Tentu saja banyak faktor lain seperti akses terhadap buku, fasilitas pendukung literasi yang masih minim. Tulisan ini tidak akan membahas hal tersebut, namun akan menawarkan cara pandang baru tentang literasi sebagai sebuah kajian ilmu.

Kajian literasi masih belum begitu berkembang di dunia akademik di Indonesia. Bahkan istilah literasi sendiri belum begitu banyak dikenal. Di kalangan masyarakat, literasi dimaknai sebagai ‘membaca dan menulis.’ Pada umumnya, mulai bergairahnya perhatian kita terhadap literasi dipicu oleh keprihatinan kita atas rendahnya budaya membaca di kalangan masyarakat. Bisa dipahami bila dalam banyak forum yang membahas literasi, perhatian utama kita adalah bagaimana bisa menumbuhkan budaya baca di kalangan siswa dan masyarakat. Ini didasari oleh pandangan bahwa literasi adalah alat untuk perubahan kognitif dan berperan penting dalam pembangunan bangsa.

Di negara-negara maju yang masyarakatnya memiliki budaya baca yang tinggi, tentu saja kajian literasi sudah berkembang jauh lebih pesat di dunia akademik. Saat ini kajian literasi diwarnai oleh dua model yang saling bertentangan, yakni model otonomi dan ideologis.  Model pertama, yakni model otonomi, sering digunakan untuk mengacu pada ‘tesis literasi’ yang dikemukakan Jack Goody, di mana literasi dianggap sebagai variabel independen yang memberikan pengaruh terhadap kapasitas kognitif dan sosial seseorang (1977). Model otonomi memandang membaca dan menulis sebagai proses netral, bebas konteks, dengan motivasi utama untuk mencapai status ‘melek literasi’ di masyarakat. Status ini mendorong perlunya literasi diajarkan sebagai rangkaian ketrampilan untuk menyusun dan membedah teks (terutama cetak). Model otonomi banyak diusung di bidang-bidang pendidikan dan psikologi, yang cenderung melihat literasi sebagai proses kognitif. Saya melihat bahwa model otonomi ini amat dominan di dunia pendidikan Bahasa di tanah air, sebagaimana juga dominannya pandangan ini di kalangan pendidik literasi di negara-negara maju.

Model yang nampaknya netral dan universal ini banyak dibantah karena dianggap mengaburkan faktor-faktor ideologis dan sosial yang membentuk praktik literasi. Brian V. Street, seorang professor di bidang pembelajaran Bahasa di King’s College, University of London, mengkritik model otonomi, berdasarkan penelitian antropologinya tentang literasi di Iran pada tahun 1970-an. Street (1995) berpendapat bahwa proses membaca dan menulis terjadi dalam konteks hubungan kekuasaan yang menempatkan manusia di posisi berbeda di masyarakat. Model ini dia namakan model ideologis, yang kemudian lebih dikenal karena pandangannya tentang literasi sebagai praktik sosial dan merupakan produk dari ideologi yang berkembang di masyarakat (Street & Lefstein, 2007, p. 42).

Dalam makalah ini, saya menggunakan model ideologis dengan argumen bahwa model ini lebih kuat sebagai kerangka konsep untuk memahami praktik literasi di lingkungan kita, baik dalam konteks sekolah maupun masyarakat. Dalam pendekatan ideologis, literasi tidak hanya sekedar sebuah ketrampilan teknis yang memungkinan seseorang bisa membaca dan menulis. Model ideologis tidaklah menampik pentingnya peran literasi dalam membentuk transformasi kognitif dan sosial seseorang. Namun dengan melihat literasi secara lebih kontekstual, maka faktor-faktor lain seperti hubungan kekuasaan bisa mendorong atau menghambat proses transformasi akan bisa diungkap.

Berbagai penelitian yang memandang literasi sebagai praktik sosial termasuk dalam bidang kajian baru yang disebut New Literacy Studies (NLS, Kajian Literasi Baru). Beberapa konsep yang sering digunakan antara lain literacy events (peristiwa literasi) dan literacy practices (praktik literasi). Dalam kajiannya tentang literasi di dalam tiga komunitas di negara bagian South Carolina, AS, Shirley Heath (1982) mendefinisikan peristiwa literasi sebagai peristiwa apapun di mana sebuah bentuk tulisan/teks menjadi bagian dari interaksi para partisipan dan proses pemaknaan teks tersebut. Secara sederhana, istilah peristiwa literasi bisa dimaknai sebagai peristiwa/kejadian apapun yang bisa diamati, di mana sebentuk tulisan hadir di dalamnya. Sementara itu, praktik literasi melibatkan tidak hanya peristiwa yang bisa dilihat, namun juga nilai-nilai dan perilaku dari orang-orang yang terlibat dalam praktik literasi tersebut (Barton, Hamilton, & Ivanic, 2000).

Barton dan Hamilton memerikan hubungan antara peristiwa literasi dan praktik literasi. Dalam bahasa sederhana, praktik literasi adalah apapun yang dilakukan orang dengan literasi. Praktik literasi lebih abstrak, karena melibatkan nilai, sikap, perasaan, dan hubungan sosial, sedangkan peristiwa literasi merupakan komponen dari praktik sosial tersebut yang bisa dilihat dan diamati. Dalam buku Situated Literacies, Barton dan Hamilton (2000) memberikan beberapa konsep penting untuk memahami literasi sebagai praktik sosial.

  1. Literasi dimaknai sebagai serangkaian praktik sosial, yang bisa dirunut dari berbagai peristiwa di mana teks tertulis terlibat di dalamnya.
  2. Ada jenis literasi yang berbeda dalam aspek kehidupan yang berbeda pula.
  3. Praktik literasi dibentuk oleh institusi sosial dan hubungan kekuasaan. Sebagian literasi dianggap lebih dominan dan berpengaruh dibandingkan literasi yang lain.
  4. Praktik literasi memiliki tujuan tertentu dan terkait erat dengan tujuan sosial dan praktik budaya secara umum.
  5. Literasi terjadi dalam konteks sejarah.
  6. Praktik literasi selalu berubah, dan bentuk literasi baru seringkali diperoleh melalui proses pembelajaran dan pembentukan makna yang informal.

Dengan menggunakan model ideologis, kita bisa melihat literasi  tidak hanya sekedar sebagai sarana untuk transformasi kognitif  sebagaimana yang diusung model otonomi. Literasi bisa dianggap sebagai bentuk kekuasaan atau ancaman oleh kelompok sosial tertentu. Literasi juga bisa berfungsi sebagai sarana terapi jiwa, menambah gengsi sosial, dan banyak fungsi lainnya. Mari kita lihat beberapa contoh bagaimana literasi bisa membawa berbagai macam makna dan fungsi.

 

Literasi dan Tranformasi Identitas

Kekuatan literasi dalam mengubah identitas seseorang sudah seringkali digambarkan di budaya populer.  Identitas krisis individu, misalnya, tercermin di dalam novel The Reader (1995) karangan Bernard Schlink. Novel ini sudah difilmkan, dengan tokoh utama Hanna diperankan oleh Kate Winslet. Hanna adalah seorang perempuan yang tengah menghadapi dakwaan berat dalam kasus pembunuhan massal oleh Nazi. Michael, seorang mahasiswa ilmu hukum yang pernah ditolong Hanna, mengetahui ada bukti yang sebenarnya bisa membebaskan Hanna dari segala dakwaan. Namun Hanna tidak mau mengakuinya, karena bukti itu akan mengungkap aib sosialnya. Aib itu adalah sosok Hanna yang ternyata buta huruf.  Dalam cerita, Hanna kemudian akhirnya bisa membaca, dan memiliki harga diri yang lebih tinggi.

Pandangan literasi sebagai alat pembebasan diri ini disebut sebagai tema kemenangan literasi. Dalam buku Popular Culture and Representations of Literacy, Bronwyn T. Williams and Amy A. Zenger  (2007) membahas film-film dengan tema the triumph of literacy, seperti Educating Rita (1983), Dangerous Minds (1995), Nanny McPhee (2005).  Film-film dengan tema ini menggaungkan pandangan model otonomi, dengan melihat literasi sebagai alat atau ketrampilan yang diperlukan untuk transformasi diri dan menjadi bagian dari masyarakat luas.

Literasi sebagai salah satu sarana transformasi identitas tidaklah selalu diartikan menjadi bagian dari model otonomis. Kita lihat contoh proses transformasi diri yang dialami tokoh Celie dalam novel The Color Purple (1982) karya Alice Walker. Celie menemukan literasi sebagai alat yang memberi dia kekuatan untuk berani bersuara dan membela dirinya sendiri sebagai perempuan kulit hitam yang selama ini menjadi korban kekerasan fisik, seksual, dan emosi oleh ayah tiri dan suaminya. Dalam hal ini literasi adalah praktik sosial, di mana literasi berperan penting untuk memecah kebisuan tokoh dan keberanian untuk memperjuangkan diri sendiri. Literasi berfungsi memberikan seseorang ‘kewenangan’ untuk menjadi aktor utama bagi hidupnya sendiri, berani bersuara untuk diri sendiri dan untuk komunitas di mana dia berada (Hernandez-Zamora, 2010, p. xi).

Sebagai alat untuk menyuarakan identitas diri dan komunitas, literasi juga berperan penting untuk mendobrak stereotip negatif. Dalam penelitian yang saya lakukan tentang praktik literasi buruh migran Indonesia di Hong Kong (BMI-HK), nampak jelas bahwa banyak penulis BMI-HK menulis untuk mengubah stereotip negatif yang berkembang di masyarakat bahwa TKW itu bodoh, tidak beradab, dan tidak berpendidikan. Mereka memang akrab dengan sapu dan alat dapur yang menjadi penanda posisi mereka di ranah domestik, namun BMI-HK juga tidak gagap teknologi dan mampu menulis kreatif.

Salah satu contohnya adalah Rie rie, seorang BMI blogger, yang sampai saat ini masih bekerja di Hong Kong. Di alamat blognya, www.babungeblog.blogspot.com, Rie rie memberikan citra diri sebagai pembantu rumah tangga yang ‘tidak biasa.’ Dia menjuluki dirinya sendiri sebagai ‘not so ordinary maid, with not so ordinary thought.’ Produktif menulis dalam Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Bahasa Jawa, Rie rie cerdas memainkan kata ‘babu’ dan ‘ngeblog’ untuk mendobrak stereotip buruk sosok TKW. Meminjam pandangan Foucault (1976), penggunaan kata ‘babu’ dengan makna baru ini adalah sebuah perlawanan yang disebut dengan reverse discourse, di mana sebuah kata yang bermakna peyoratif kemudian diubah menjadi makna baru yang positif dan lebih  memiliki kekuatan. Dalam komunitas penulis BMI-HK, Rie rie membawa misi pemanfaatan internet secara sehat, dan sering memberikan pelatihan blogging kepada sesama BMI.

Literasi sebagai Ancaman

Meski tak seorangpun mengelak anggapan pentingnya literasi dalam kehidupan manusia, dalam praktik sehari-sehari, ternyata literasi bisa dianggap sebagai ancaman. Mari kita ambil contoh beberapa tulisan para buruh migran Indonesia (BMI) yang sudah diterbitkan. Bekerja sebagai pembantu rumah tangga di negeri orang dengan posisi tawar yang cenderung rendah, cukup banyak penulis di kalangan BMI yang menggambarkan literasi sebagai ancaman di mata majikan mereka. Dengan kekhawatiran akan konsekuensi kehilangan kontrak kerja dan dipulangkan ke tanah air, penulis BMI menggunakan berbagai taktik perlawanan terhadap hubungan kekuasaan antara majikan-pembantu.

Contoh representasi literasi sebagai ancaman bisa ditemukan di dalam memoir berjudul Catatan Harian Seorang Pramuwiswa (2005) oleh Rini Widyawati. Memoir ini menggambarkan pengalaman penulisnya selama menjadi buruh migran di Hong Kong. Pengalamannya menjadi asisten sekaligus juru ketik novelis perempuan Ratna Indraswari Ibrahim banyak membentuk harapannya untuk suatu saat bisa menulis buku. Sebagai buruh migran, Rini merasakan keterbatasan ruang gerak yang membatasi kebebasannya. Rini menyikapi keterbatasan ini dengan menyalurkan hobinya menulis secara diam-diam. Baginya, menulis adalah sebuah obsesi untuk ingin berbagi cerita. Ironisnya, majikan Rini, seorang sopir truk, tidak mengijinkannya untuk kelihatan menganggur sedetikpun, meski apartemen mereka sangat kecil. Rini bisa mengerjakan semua pekerjaan hanya dalam beberapa jam, dan menyisakan begitu banyak waktu untuk menulis di buku hariannya. Dengan cerdiknya, Rini menyimpan buku hariannya di dalam panci yang tidak terpakai, dan dia akan duduk di lantai dapur, dekat pintu masuk apartemen:

Saya hafal betul suara dan irama langkah kaki majikan saya. Kalau saya mendengar langkah kaki itu, saya akan segera memasukkan buku harian ke dalam panci. Majikan saya tidak pernah membuka panci. Bisa saya bayangkan, kalau majikan saya tahu ada pulpen dan buku di dalam panci, mungkin akan memakannya mentah-mentah (23).

Penuturan Rini menunjukkan betapa rumitnya sebuah proses kreatif bagi seseorang, namun pada saat yang sama menggambarkan sebuah taktik perlawanan.

Gambaran literasi sebagai ancaman juga bisa dilacak di cerpen “Surat Berdarah untuk Presiden” yang ditulis oleh Daniela Jaladara.[1] Dalam cerpen ini, tokoh utama, Rosminah, berniat menulis surat untuk Presiden SBY, dan mengharapkan perbaikan dalam penanganan TKW. Minah menyembunyikan surat yang ditulisnya kepada Presiden SBY di bawah bantal, karena khawatir akan ketahuan oleh majikannya. Dalam cerita, Minah ditemukan meninggal karena digigit oleh anjing piaraan majikannya (Jaladara, 2010).

Pengalaman lain ditulis oleh Indira Margaretha, BMI yang sampai saat ini masih bekerja di Hong Kong. Dalam cerpennya “Cahaya buat Penaku” dalam antologi cerpen The Miracle of Life (2013), Indira mengisahkan bagaimana si nenek, orang tua majikannya, menemukan laptop di kamarnya. Temuan ini menjadi bukti untuk si nenek agar Indira diberi hukuman atas ketidak-becusannya dalam bekerja. Untunglah kedua majikannya pasangan yang memahami pentingnya teknologi sebagai sarana belajar, bahkan untuk seorang pembantu rumah tangga sekalipun. Alhasil, hobi menulis Indira malah didukung oleh kedua majikan.  Cerpen ini menunjukkan bahwa literasi bisa dimaknai berbeda, bergantung pada hubungan kekuasaan dan interaksi sosial orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Literasi: Komoditi atau Ekspresi?

Dalam masyarakat yang cenderung pragmatis dan menuntut hasil yang nyata dalam sebuah aktivitas, benturan pandangan tentang peran literasi kerap terjadi. Orang-tua yang menjunjung tinggi pendidikan anak untuk meraih masa depan cerah bisa saja mendorong anak untuk rajin belajar dan banyak membaca buku pengetahuan, namun kurang suka melihat anak membaca sastra. Dalam hal ini, ada benturan antara nilai literasi sebagai komoditi dengan literasi sebagai sarana pembebasan emosi. Dengan demikian sastra bisa dianggap sebagai kegiatan yang tidak produktif.

Gambaran tentang benturan nilai literasi seperti ini tercermin dalam film The Dead Poets’ Society (1989). Judul ini mengacu pada kelompok pembaca dan penulis yang rutin bertemu secara rahasia di hutan kecil pada malam hari. John Keating, seorang guru Bahasa Inggris (diperankan sangat apik oleh Robin Williams), mengajak siswanya mengeksplorasi sastra dengan cara yang tidak konvensional.  Williams dan Zenger (2007) melihat film ini mengusung misi literasi sebagai ‘emotional salvation.’ Dengan memotret benturan pandangan tentang literasi di masyarakat, penonton disodori pertanyaan: apakah siswa perlu menguasai ketrampilan literasi sebagai komoditi untuk terjun ke dunia kerja yang kompetitif, agar bisa meraih profesi bergengsi, ataukah literasi menjanjikan transformasi emosional dan intelektual?

Benturan pandang yang berbeda ini bisa dirunut ke belakang ke konsep utilitarianime, yang mengusung kebermanfaatan sebagai prioritas dan tidak memberikan ruang untuk daya imajinatif. Dalam novel karya Charles Dickens yang berjudul Hard Times (diterbitkan pertama kali pada tahun 1854), pembaca disodori pertanyaan filosofis: mana yang lebih penting, sains atau seni dan sastra?

Literasi, termasuk di dalamnya penulisan kreatif, memang masih dilihat sebelah mata. Dalam penelitian yang saya lakukan, kegiatan literasi BMI masih dianggap remeh oleh para pelaku bisnis ketenaga-kerjaan. Meski tidak menentang, sebagian di antara mereka melihat kegiatan literasi sebagai kegiatan yang kurang produktif dan berpotensi mengganggu tugas utama BMI. Bila ditelusuri lebih mendalam, sebenarnya tercermin kekhawatiran akan terganggunya stabilitas bisnis ketenaga-kerjaan bila kegiatan literasi ini diberi ruang lebih luas. Meski begitu, ada di antara pelaku bisnis ketenaga-kerjaan yang melihatnya sebagai hal baru dan perlu dipertimbangkan masuk dalam pembekalan TKW yang akan dikirim ke luar negeri.

Simpulan

Paparan di atas memberikan bukti pada kita betapa beragamnya makna dan fungsi literasi sebagai praktik sosial. Kembali ke pertanyaan di awal makalah ini: mengapa minat baca di masyarakat cenderung rendah? Ideologi apa yang tertanam di masyarakat kita sehingga literasi masih dipandang sebelah mata? Harus diakui, pandangan literasi (termasuk ilmu sastra) sebagai kegiatan yang tidak penting atau tidak produktif masih tertanam di alam bawah sadar masyarakat kita. Jurusan/program studi sastra masih dianggap kurang memberikan kontribusi terhadap pembangunan intelektual. Kurikulum pendidikan di Indonesia sampai saat masih belum memberikan ruang untuk pengembangan literasi, apalagi apresiasi karya sastra. Di mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggrispun, yang seharusnya menjadi poros depan dalam pengembangan literasi, sastra masih menjadi pinggiran. Alih-alih mengharapkan karya sastra sebagai santap sehari-hari siswa di sekolah. Pelajaran Bahasa masih cenderung mekanis, dan tidak mendorong siswa untuk mengeksplorasi kemampuan literasinya. Ini amat berbeda dengan negara-negara maju, di mana karya sastra adalah materi utama dalam mata pelajaran Bahasa. Di negara bagian Victoria, Australia, misalnya, siswa SMA dipastikan telah membaca 36 karya sastra, baik novel, puisi, drama, film, dan teks non-fiksi selama 3 tahun belajar di tingkat SMA (VCE English Study Design 2014).

Berbagai persepsi tentang literasi dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan bahwa masalah rendahnya minat baca di kalangan masyarakat tidaklah dengan mudah diatasi dengan menggelontor ratusan buku saja. Meski gairah literasi mulai nampak di lingkungan kita (salah satunya dengan dideklarasikannya Surabaya sebagai Kota Literasi), cara pandang literasi yang universal dengan model otonomi berpotensi penanganan program literasi yang kurang tepat. Sebagaimana telah saya paparkan melalui berbagai contoh di dalam makalah ini, kajian literasi dengan menggunakan model ideologis perlu lebih banyak dikembangkan agar program literasi di pendidikan formal maupun informal bisa berjalan lebih tepat sasaran.

Ideologi adalah sebuah keyakinan yang bersifat dinamis, dan akan berubah sejalan dengan perubahan kebiasaan di masyarakat. Perubahan cara pandang terhadap literasi bisa dilakukan dengan menjalankan program literasi yang membebaskan. Masyarakat, baik di sekolah maupun di luar sekolah, membutuhkan program literasi yang tidak sekedar bertujuan mengukur kemampuan siswa, atau berpotensi mengkotak-kotakkan orang dalam hal kepandaian. Sebaliknya, program literasi yang membuat kegiatan membaca dan menulis sebagai kegiatan yang menyenangkan dan tanpa beban, akan lebih mudah diterima. Semoga dengan mengembangkan kajian literasi sebagai praktik sosial, kita bisa berharap terbentuknya masyarakat melek literasi.

DAFTAR PUSTAKA

Barton, D., & Hamilton, M. (2000). Literacy practices. In D. Barton, M. Hamilton & R. Ivanic (Eds.), Situated Literacies: Reading and writing in context (pp. 7-15). London and New York: Routledge.

Barton, D., Hamilton, M., & Ivanic, R. (Eds.). (2000). Situated Literacies: Reading and writing in context. London and New York: Routledge.

Dickens, C. (2003). Hard Times. Introduction by Kate Flint. London: Penguin.

Foucault, M. (1976). The History of Sexuality, vol. 1 (R. Hurley, Trans.). London: Penguin Books.

Goody, J. (1977). The Domestication of the Savage Mind. Cambridge: Cambridge University Press.

Heath, S. B. (1982). Protean shapes in literacy events: Ever-shifting oral and literate traditions. In D. Tannen (Ed.), Spoken and written language: Exploring Orality and Literacy. Norwood, NJ: Ablex Publishing.

Hernandez-Zamora, G. (2010). Decolonizing Literacy: Mexican Lives in the Era of Global Capitalism. Bristol: Multilingual Matters.

Jaladara, D. (2010). Surat Berdarah untuk Presiden. In P. Senja (Ed.), Surat Berdarah untuk Presiden: Suara Hati BMI Hong Kong (pp. 16-27). Jakarta: Lini Jendela.

Kazmi, Y. (2005). The Rise and Fall of Culture of Learning in Early Islam. Islamic Studies, 44(1), 15-51.

Margaretha, I. (2013). Cahaya buat Penaku. In d. Dhieny Megawati (Ed.), The Miracle of Life. Yogyakarta: Diandra.

McGarry, K. J. (1991). Literacy, Communication and Libraries: a Study Guide. London: Library Association Publishing.

Street, B. V. (1995). Social Literacies: Critical Approaches to Literacy in Development, Ethnography and Education. London and New York: Longman.

Street, B. V., & Lefstein, A. (2007). Literacy: an Advanced Resource Book. London and New York: Routledge.

Victorian Curriculum and Assessment Authority. (2014). VCE English Study Design. Melbourne: VCAA.

Widyawati, R. (2005). Catatan Harian Seorang Pramuwisma. Surabaya: JP Books.

Williams, B. T., & Zenger, A. A. (2007). Popular culture and representations of literacy. New York: Routledge.

*) Tulisan ini dimuat dalam Prosiding Seminar Nasional Menumbuhkan Literasi di Sekolah, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya, 2014.

[1] Daniela Jaladara adalah nama pena seorang penulis BMI di Hong Kong. Cerpen “Surat Berdarah untuk Presiden” ini menjadi terpilih sebagai cerpen terbaik versi VOI RRI 2010 dan dibukukan dalam sebuah antologi cerpen BMI dengan judul yang sama. Berkat cerpen ini, Daniela Jaladara terpilih untuk menjadi salah satu penulis yang diundang di Ubud Writers and Readers Festival 2011. Cerpen ini sudah diterjemahkan dalam Bahasa Inggris dan Jerman. Daniela kini menetap di Garut dan menekuni bisnis agrowisata dan mendirikan komunitas belajar informal bersama suaminya.