Ketika call for parent helper diedarkan ke orang tua beberapa minggu yang lalu, saya memutuskan untuk sign up 2 minggu sekali selama 2 jam. Jadi Parent Helper di sekolah Adzra. Saya memilih untuk membantu di literacy program, karena pingin tahu bagaimana anak-anak di sini berproses belajar membaca dan menulis. Berikut ini hasil pengamatan saya.
Kelas Prep, di mana Adzra berada, berisi sekitar 42 anak, dengan 3 guru dan 1 asisten. Jumlah ini dibagi dua, kelompok Emu (burung onta) dan Echidna (trenggiling). Ruang kelasnya cukup luas, lebih mirip tempat bermain anak. Ada beberapa kursi meja yang diletakkan tersebar di beberapa pojok kelas. Selebihnya ruang kosong di mana anak-anak bebas berlarian, dan rak-rak buku, doll’s house, big toy kitchen set, dan dress-up box di ujung yang lain. Saya sudah mengenal isi ruang ini, karena setiap hari mengantar Adzra sampai masuk kelas.
Awal jam sekolah dimulai dengan musik apa saja yang diputar pelan tapi cukup terdengar. Kadang lagu Rolling in the Deep-nya Adele, kadang I got the move like Jagger-nya Maroon 5. Ini pertanda anak-anak mulai line-up. Lalu guru-guru akan buka pintu, dan mempersilakan anak-anak masuk kelas. Sekolah sudah berlangsung selama hampir 1 term, sehingga anak-anak sudah hapal urutannya. Mereka akan menaruh tas masing-masing di locker di dalam kelas, dan bergabung dengan kelompoknya untuk absensi. Santai saja, anak-anak duduk di karpet, dan Kerry, salah satu gurunya pegang iPad, memanggil nama siswa satu persatu. Saya duduk di sofa, mengamati di belakang kelompok Echidna.
“Good morning, Walid.”
“Here.”
“Good morning Avinash.”
“Good morning Kerry.”
Begitu seterusnya. Di ujung yang lain, Kelly juga melakukan hal yang sama dengan kelompok Emu.
Agenda calling the roll selesai. Waktunya mengaktifkan otak yang rehat semalaman. Kerry mengajak anak-anak melakukanbrain exercise dengan menyentuhkan jari telunjuk kiri ke jempol kanan, kemudian jempol kiri ke telunjuk kanan. Posisi kedua tangan diputar ke atas sambil tetap bergantian menyentuhkan telunjuk ke jempol, seperti laba-laba tengah merayap ke atas.
Lalu bernyanyilah mereka:
Itsy Bitsy Spider climbed up the water spout
Down came the rain and washed the spider out
Up came the sunshine and dried up all the rain and
Itsy bitsy spider climbed up the spout again.
Meski saya sudah kenal lagu ini dari Adzra sejak di Kinder dulu, baru sekarang saya ngeh dengan permainan jarinya. Saya ikut rengeng-rengeng sambil memainkan jari. Trust me, it’s not easy to start with. Saya jadi paham, cara ini cukup ampuh untuk membuat otak mulai konsentrasi, sebelum kelas atau bahkan sebuah workshop dimulai.
Sejenak kemudian kedua kelompok bergabung, duduk di tengah area kelas, di atas blue carpet. Area ini selalu dipakai untuk kegiatan klasikal. Kerry bilang bahwa Ben akan mengajarkan lagu baru tentang going to school.
Today I went to school and I learned a very good lesson
Don’t throw water balloon at Henry
(nama diganti-ganti, membuat suasana kelas jadi jenaka, ketika Kerry pura-pura melempar balon air ke salah satu siswa)
Don’t put blackboard chalk to the fish tank
Don’t put chewing gum behind my ears
Don’t put bullfrog inside the teacher’s pocket
Anak-anak berdiri, bernyanyi bersama, diiringi Ben yang memainkan piano. Ah, lagu yang amat simpel dan lucu sebenarnya. Tapi liriknya lumayan mendekonstruksi persepsi saya. Belajar di sekolah bukanlah sekedar memperoleh ilmu pengetahuan baru, namun belajar perilaku yang berterima di lingkungan sekolah. Lagu sederhana ini mengajarkan pada kita bahwaaffective domain tidak kalah pentingnya dengan cognitive domain. Bukankah ini pendidikan karakter yang sesungguhnya.
Ada yang menarik di antara siswa-siswa teman Adzra. Salah satunya, Mariam, anak berwajah Timur Tengah, terlihat didampingi intensif oleh Mary, asisten di kelas itu. Ketika anak lain mudah berkonsentrasi, Mariam cenderung gampangdistracted. Dia akan omong sendiri, umeg, atau menyela gurunya. Kerry tidak kelihatan marah sama sekali. Sementara itu, Mary rutin menjaga kontak mata dengan Mariam. ‘You need to listen,’ sambil memegang telinganya. Atau mendudukkan Mariam lebih tenang. Saya duga Mariam adalah anak dengan berkebutuhan khusus.
Tibalah giliran literacy program. Anak-anak nampaknya sudah dikelompokkan sesuai dengan kemampuan komunikasi bahasa Inggris atau mengenal huruf. Kerry mengajak saya untuk mendampingi Macy group. Kami masuk ke salah satu ruang di sebelah kelas. Tiga anak Indonesia ada di sini, kecuali Adzra yang ada di kelompok lain. Tiap anak diminta membawa blue bag masing-masing. Tas ini berisi buku baru tiap hari sebagai PR membaca. Anak-anak duduk lesehan di karpet, dan Kerry memperkenalkan saya kepada mereka.
“We’ve got a visitor today. Does anybody know whose mom she is?”
Beberapa anak mengacungkan tangan (Hehe, lumayan terkenal juga saya).
“Adzra’s mom,” jawab Ken, anak Indonesia yang sudah lama saya kenal. Bapaknya kuliah PhD di Unimelb, ibunya teman pengajian dan jualan di Vicmart dulu, dan kakak sulungnya, Sarah, adalah adik kelas Ganta di Brunswick Secondary College.
“Say good morning to Tiwi.”
“Good morning, Tiwi.”
“Good morning, everybody.”
Tugas saya adalah mendampingi anak-anak kelompok ini untuk membaca secara individu. Bergantian satu-satu duduk dengan saya di ujung yang cukup privat, tanpa ada gangguan dari anak lain. Sementara itu, Kerry membacakan buku untuk sebagian lain secara klasikal.
Ah, cuma baca buku tipis yang cuma satu kalimat per halaman urusan kecil. Tapi yang lebih menantang sebenarnya adalah membuat si anak merasa nyaman dan bisa konsentrasi. Ada Liana, anak Bangladesh, yang malu-malu, dengan suaranya yang pelan. Ada Zach yang PD, dan ketika dibacakan bukunya, dia ikut nambahi ceritanya. Mariam, anak yang berkebutuhan khusus tadi, juga sempat saya dampingi. Berbeda dengan teman-temannya yang mau menirukan cara membaca buku masing-masing, Mariam hanya melihat gambar, dan bercerita dengan versinya sendiri. Karena ini reading program, saya perlu sabar membimbing dia membaca, dengan menatap matanya, dan menunjukkan mimik dan gerak sesuai dengan gambar.
“I am eating.” Sementara itu, Mariam ngoceh sendiri tanpa lihat tulisan, ‘Eating apple.’ Dia buka lagi halaman sebelumnya. “I like juice,” sementara di situ tertulis “I am drinking.”
“Yes, Mariam. This is juice. Now repeat after me. I AM DRINKING.” Dan Mariam hanya menirukan ‘drinking.’ Tapi setidaknya, Mariam terlihat menikmati isi buku. Saya trenyuh ketika dia ikut tertawa dan menangis, menirukan saya yang sedang membaca tulisan ‘I am laughing’ dan ‘I am crying.’
Kegiatan berikutnya adalah mendampingi anak-anak belajar menulis. Saya membungkuk di dekat kursi di mana tiga anak Indonesia (Sarah, Ken, dan Aska) duduk. Aisha, anak Pakistan juga ada di sebelah Sarah. Saya menuntun mereka membaca ‘The bird is flying, the dog is digging, the cat is sleeping, the fish is swimming.’ Kalimat yang masing-masing cuma 4 kata ini dibaca dengan menunjuk pada tiap kata, sehingga anak-anak bisa mengasosiasikan bunyi dengan hurufnya. Selanjutnya saya minta mereka untuk melingkari satu kata saja di tiap kalimat. Dan mereka menuliskan kembali kata pilihan mereka di kotak kosong di atas gambar. Yang penting mereka tahu bagaimana bunyi kata tersebut.
It’s play time. Anak-anak mulai semburat, memilih mainan sesuka hati. Ada yang langsung di pojok doll’s house, bermain peran, ada yang bermain mobil-mobilan, dressing up, mojok di reading corner, dan sebagainya. Saya tetap melakukan tugas pendampingan membaca. Intinya, tiap anak perlu didengar bagaimana dia membaca atau dibacakan buku. Kerry meminta saya mendekati beberapa anak, dan mengajaknya duduk menyendiri di pojok. Ada Kaif yang langsung nurut ketika diajak membaca, Nafi yang mbulet karena tidak mau meninggalkan mobil-mobilan yang sudah kadung dia ajak konvoi, Avinash yang nampaknya sudah lancar membaca, Adzra yang senang ketika ibunya ikut jadi guru, sampai Alifia yang menolak karena masih mau bermain dressing-up.
Tidak terasa, sudah hampir 2 sks saya berada di kelas. Ketika Kerry mengeluarkan piring buah-buahan dari kulkas di dalam kelas, pertanda snack time dimulai, saya pamit padanya. Saya katakan bahwa saya menikmati tugas volunteering ini. “I’ll see you in two weeks.”
Sambil berjalan pulang, saya merenungkan kembali apa yang baru saja saya lakukan. Mengajari anak membaca ternyata tidak hanya sekedar membacakan kalimat di buku bergambar yang tidak lebih dari 6 halaman itu. Lebih dari itu, kesabaran dan ketekunan menghadapi berbagai kepribadian dan perilaku anak punya peran penting. Kalau boleh saya katakan, zero anxiety mutlak ada dalam program literasi, agar mereka bisa pelan-pelan mencintai buku.