Kapan saat terakhir Anda ikut rame-rame merayakan Hari Kartini? Dulu pas di SMP dan SMA, perayaan Hari Kartini di sekolah termasuk yang paling membuat saya cemas. Bayangan harus pakai kebaya, ber-make-up, dan berkonde membuat saya sudah gelisah duluan. Gak punya kostum dan gak ada yang ndandani. Dan ada hal lain yang saya tahu apa, tapi ada rasa kurang sreg dengan acara-acara perayaan Hari Kartini. Baju kebaya, fashion show, lomba menghias nasi tumpeng, merias wajah, dan sejenisnya.

Pada saat kuliah saya mulai menyadari bahwa kegelisahan saya ini adalah karena makna Hari Kartini tereduksi oleh acara-acara seremonial yang malah tidak mencerminkan perjuangan perempuan. Kegiatan yang diselenggarakan cenderung mewadahi peran perempuan hanya di ranah domestik: masak dan macak. Bahkan di masa kuliah itu saya pernah ada di masa-masa menolak ciri-ciri femininitas: pakai rok, skin care, dandan cantik. Ditambah lagi karena saat itu saya lagi getol-getolnya ikut kegiatan kepencinta-alaman. Saya baru punya rok setelah harus praktik mengajar (PPL) di sebuah SMA negeri di pinggiran Trenggalek. Baru kenal skin care dari dokter kulit perempuan ketika bermasalah dengan jerawat yang tidak kunjung berhenti tumbuh.

Namanya manusia memang (harus) berubah. Saat ini saya justru memandang pakaian tradisional seperti kebaya sebagai bagian penting untuk identitas budaya. Perempuan pakai skin care bukan hanya karena ingin tampil cantik. Tapi itu menjadi bagian dari kepedulian dan sayang kepada diri sendiri.

Toh kegelisahan tentang perayaan Hari Kartini yang acapkali hanya seremonial tetap ada di benak saya. Semua orang tahu bahwa Kartini menulis surat-surat dalam bahasa Belanda yang kemudian dikumpulkan dalam buku dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Pertanyaannya: Apakah kita pernah membaca isinya?

Sekitar tiga tahun terakhir ini saya rutin menjalankan projek Digital Storytelling di kelas Gender Studies di prodi S1 Sastra Inggris Unesa. Saya ingin mengetahui persepsi para mahasiswa sebelum dan setelah membaca surat-surat Kartini. Tentunya yang dibaca mahasiswa adalah versi terjemahan Bahasa Inggris. Dari projek yang saya lakukan untuk 3 angkatan yang berbeda selama 3 tahun, benar dugaan saya, mayoritas belum pernah membaca surat-surat Kartini dalam versi apapun. Sebagian pernah menonton film Kartini, yang dimainkan oleh Dian Sastro. Setidaknya film ini memberikan gambaran lebih dalam tentang sosok Kartini. Tapi tetap saja beda rasanya. Mahasiswa perlu diajak untuk lebih literat dengan membaca langsung dari sumbernya.

Mahasiswa mengakui bahwa pembacaan surat-surat Kartini memberikan wawasan baru bagi mereka. Dari projek ini mahasiswa (laki-laki dan perempuan) menegaskan pentingnya memaknai perjuangan Kartini melalui diskusi dan aktivisme. Berbagai isu gender, inklusi sosial, dan hak-hak asasi diusulkan, mulai dari stop bullying, anti-online domestic violence, sampai hak-hak ketenagakerjaan untuk perempuan. Berikut salah satu video digital storytelling hasil karya mahasiswa angkatan 2021: https://youtu.be/Se3RSu45FJ8.
Video ini merupakan refleksi yang dibuat oleh Mellya. Sekilas informasi, Mellya merupakan salah satu di antara 4 mahasiswa Sastra Inggris yang lolos IISMA 2024. Silakan memberikan komentar terhadap video di atas.

Tunggu keseruan kisah tentang pemaknaan literasi di tulisan berikutnya ya.

Yogyakarta, 23 April 2024